Penulis : Oleh : Hamin, Ebin, Ilham Rizki Juliansyah Tim Riset Mahasiswa Sosiologi Universitas
Bangka Belitung.Ketahanan pangan selalu menjadi topik strategis bagi bangsa yang tengah membangun kedaulatan ekonomi. Pemerintah melalui Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2024 menekankan pentingnya lumbung pangan dari pusat hingga desa.
Menurut Deputi Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan NFA, Andriko Noto Susanto, inti dari Peraturan Presiden ini adalah mendorong penganekaragaman konsumsi pangan guna mengurangi ketergantungan pada impor. Upaya ini dilakukan dengan memberdayakan potensi pangan lokal yang disesuaikan dengan karakteristik masing-masing wilayah. “Hal ini menjadi modal utama dalam mencapai kemandirian pangan yang berkelanjutan,” jelasnya (badanpangan.go.id).
Namun,realitas di lapangan seringkali menunjukkan adanya perbedaan antara kebijakan nasional dan kearifan lokal. Salah satunya terjadi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Di tengah masifnya pembangunan pertanian padi sawah seperti di Kabupaten Bangka Selatan khususnya Desa Rias. Menurut Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura
Dinas Pertanian, Pangan dan Perikanan (DPPP) Kabupaten Bangka Selatan, Luhung Amin Firdaus, peningkatan produksi padi perlu difokuskan pada dua hal: penguatan prapanen melalui
penyediaan alsintan, perbaikan irigasi, distribusi bibit unggul, serta penyuluhan teknologi budi daya modern; dan penguatan hilirisasi dengan mengolah gabah menjadi produk turunan
bernilai tambah (BabelNews.id).
Upaya ini ditujukan untuk membuka peluang ekonomi lebih luas sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani. Menurut Pelaksana tugas (Plt) Kepala dinas Pertanian , Pangan dan perikanan Kabupaten Bangka Selatan, Risvandika pada saat ini Kabupaten Bangka Selatan baru bisa memenuhi sekitar 39-40 persen kebutuhan pangan lokal
di Provinsi Kepulaun Bangka Belitung, kemudian menargetkan kebutuhan pangan lokal di Provinsi kepulauan Bangka Belitung bisa tercukupi minimal 60 persen dari padi sawah di Kabupaten Bangka Selatan (BANGKAPOS.com).
Sementara itu masyarakat Desa Pangkal Niur justru tetap bertahan dengan tradisi bertani padi ladang. Pilihan ini tampak “berbeda arus”
dengan kecenderungan pemerintah daerah yang berfokus pada modernisasi sawah, pembuatan infrastruktur bendungan, dan pemberian bibit unggul. Akan tetapi, di balik sikap masyarakat Pangkal Niur tersebut tersimpan makna mendalam: mempertahankan identitas sekaligus
menjaga ruang hidup yang diwariskan sejak nenek moyang.
Berume: Antara Tradisi, Tantangan, dan Harapan
Fenomena ini menghadirkan pertanyaan penting. Apakah berume sekadar soal bertani, ataukah ia telah menjelma sebagai simbol ketahanan pangan berbasis kearifan lokal?
Jawabannya cenderung pada yang kedua. Masyarakat Pangkal Niur tidak hanya menanam padi untuk dimakan, tetapi juga untuk tidak ketergantungan pada beras komersial, menanam nilai kebersamaan, keteguhan, dan penghormatan terhadap tradisi. Bahkan, di tengah tekanan ekonomi dan tawaran menggiurkan dari perusahaan sawit, mereka memilih menolak demi tetap menjaga lahan untuk berume.
Berbagai tantangan nyata memang mengintai: ketersediaan lahan yang terdesak oleh ekspansi sawit, perubahan iklim yang mematahkan siklus musim, serta hama yang sulit dikendalikan. Lebih parahnya lagi, minimnya dukungan dari pemerintah daerah membuat tradisi berume seakan berjalan sendiri, tanpa payung kebijakan yang jelas. Inilah yang menciptakan jurang antara arah kebijakan makro dengan realitas mikro masyarakat desa. Di satu sisi, pemerintah gencar mendorong modernisasi pertanian berbasis sawah. Sedangkan masyarakat Pangkal Niur dengan penuh keyakinan masih berpegang pada tradisi berume. Bukan karena menolak perubahan, tetapi karena mereka percaya bahwa tradisi ini terbukti adaptif terhadap kondisi alam lokal dan mampu menopang kebutuhan pangan keluarga mereka.
Justru dari titik inilah kita perlu melihat Desa Pangkal Niur bukan sebagai komunitas yang “tertinggal,” melainkan sebagai penjaga diversifikasi pangan. Berume adalah pengetahuan ekologis yang sudah teruji adaptif terhadap lahan kering dan kondisi alam
setempat. Jika pemerintah mau membuka ruang kolaborasi, padi ladang dapat menjadi pelengkap ketahanan pangan sekaligus pelestari identitas budaya daerah. Dengan perlindungan kebijakan dari Pemerintah Daerah, tradisi ini akan mampu menghasilkan nilai tambah ekonomi
sekaligus memperkuat identitas budaya lokal. Dengan kata lain, berume tidak hanya penting untuk pangan, tetapi juga untuk menjaga jati diri dan kohesi sosial masyarakat.
Melestarikan berume bukan sekadar mengenang masa lalu. Ia adalah investasi masa depan. Saat ketahanan pangan global rentan akibat krisis iklim, tradisi berume bisa menjadi
“jalan alternatif” yang lebih ramah lingkungan, berbasis kearifan lokal, dan berakar kuat pada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA:
Badanpangan.go,id ( 2025, 30 Desember ) Webinar Sosialisasi Perpres Nomor 81 Tahun 2024: Dorong Penganekaragaman Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.
https://badanpangan.go.id/blog/post/webinar-sosialisasi-perpres-nomor-81-tahun-2024-dorong-penganekaragaman-pangan-berbasis-sumber-daya-lokal. Diakses pada 4 September 2025
BabelNews.id ( 2025, 15 Juni ) Pemkab Bangka Selatan Wujudkan Program Swasembada Pangan, 2025, Target Produksi Padi Meningkat.
https://babel.tribunnews.com/2025/06/15/pemkab-bangka-selatan-wujudkan-programswasembada-pangan-2025-target-produksi-padi-meningkat. Diakses pada 4 september
2025
BANGKAPOS.com ( 2025, 20 Januari ) Optimalkan Program Swasembada Pangan Hingga 60 Persen, Begini Upaya Pemkab Bangka Selatan.
https://bangka.tribunnews.com/2025/01/20/optimalkan-program-swasembada-panganhingga-60-persen-begini-upaya-pemkab-bangka-selatan. Diakses pada 4 september
2025