Di tengah dunia birokrasi yang sering kali dipenuhi angka, target, dan laporan kinerja pegawai, kita kerap lupa bahwa kebijakan publik sejatinya berurusan dengan manusia. Rasionalitas sering dimaknai sebagai logika efisiensi: bagaimana mencapai hasil secepat dan sehemat mungkin. Namun, dalam kacamata filsafat ilmu administrasi, rasionalitas tidak sesempit itu. Ia juga berbicara tentang nilai, makna, dan kemanusiaan yang menjadi dasar dari setiap keputusan publik. Dalam konteks inilah, Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) dari Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/ BKKBN hadir sebagai contoh menarik tentang bagaimana kebijakan yang rasional bisa sekaligus menyentuh sisi terdalam kemanusiaan.
Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) lahir dari buah pemikiran sederhana namun kaya akan makna: membangun keluarga yang kuat tidak cukup hanya dengan peran ibu. Ayah pun memegang peran penting dalam membentuk karakter anak dan stabilitas di dalam keluarga. Selama ini, peran ayah sering kali terpinggirkan, dan dianggap tidak penting, baik dalam kebijakan maupun dalam kebudayaan. Maka, Program Gerakan Ayah Teladan Indonesia mencoba mengembalikan keseimbangan di dalam keluarga. Ia mengajak para ayah di Indonesia untuk hadir, terlibat, dan menjadi teladan bagi keluarganya. Di sinilah kita melihat wujud rasionalitas yang hidup, rasionalitas yang tidak dingin dan matematis, tetapi yang berakar pada realitas sosial dan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam filsafat administrasi, ini disebut sebagai rasionalitas substantif, yakni logika kebijakan yang tidak berhenti pada cara mencapai tujuan, tetapi juga mempertanyakan “tujuan itu sendiri.” Apa makna kebijakan jika tidak menyejahterakan manusia? Apa gunanya birokrasi jika gagal memahami kehidupan yang dijalaninya? Melalui Gerakan Ayah Teladan Indonesia ini, kita diajak untuk memahami bahwa administrasi publik bukan hanya mesin pengatur, melainkan sarana untuk menumbuhkan kesadaran, membangun hubungan sosial, dan menegakkan nilai-nilai keluarga.
Yang menarik, Gerakan Ayah Teladan Indonesia ini juga mencerminkan pergeseran paradigma dalam cara birokrasi bekerja. Ia tidak dijalankan dengan pendekatan top-down yang kaku, melainkan mengedepankan kolaborasi.
Tokoh masyarakat, lembaga pendidikan, hingga komunitas keluarga turut dilibatkan dalam program ini. Rasionalitas di sini menjadi lebih dialogis: birokrasi tidak lagi memerintah dari atas, tetapi berjalan bersama masyarakat. Inilah bentuk rasionalitas baru yang lebih manusiawi dan mengakui bahwa kebijakan publik hanya akan bermakna jika berangkat dari suara dan kebutuhan nyata warga masyarakat.
Namun, tentu tantangan tetap ada. Agar GATI tidak berhenti pada acara seremonial atau jargon moral semata, ia membutuhkan komitmen birokrasi yang reflektif, yang mampu menyeimbangkan antara rasionalitas teknis dan nilai kemanusiaan. Di sinilah pentingnya kesadaran filosofis dalam administrasi publik: memahami bahwa setiap kebijakan adalah cerminan dari cara kita memandang manusia itu sendiri.
Ketika rasionalitas bertemu kemanusiaan, kebijakan tidak lagi sekadar instrumen kekuasaan, melainkan jembatan antara logika dan nurani. GATI menjadi pengingat bahwa birokrasi tidak harus kaku dan jauh dari rakyat. Ia bisa hangat, relevan, dan menyentuh kehidupan sehari-hari. Dan mungkin, di situlah letak makna terdalam dari filsafat administrasi publik—membangun rasionalitas yang berpihak pada manusia, bukan hanya pada sistem.
Ari Wahyu Nugraha – Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Administrasi Publik – Institut Pahlawan 12 Bangka
