Opini Publik

Legal Opini
Status Ketenagakerjaan Guru Tidak Tetap (GTT) Berdasarkan Per-UU Kepegawaian dan Ketenaga Kerjaan

By : Luthfi Amrusi, SH

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Inilah makna guru yang berdasakan Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Setelah di baca dan dikaji dengan mendalam makna guru tersebut bukanlah tugas yang ringan jika didefisikan lagi tugas-tugas itu dengan terperinci, namun dengan demikan guru tidak pernah mengeluh dan tetap mengemban tugasnya dengan penuh keikhlasan karena mempunyai tanggung jawab penuh sesuai dengan tujuan dan cita-cita bangsa yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dengan demikian dengan sangat wajar negara telah memberikan tunjangan lebih terhadap guru profesional yang berstatus Pegawai Negeri Sipil dan yang telah bersertifikasi dan status payung hukumnya jelas sebagaimana yang diatur dalam undang-undang pokok-pokok kepegawaian. Hal ini sangat berbeda apa yang dirasakan bagi yang berstatus Guru Tidak Tetap (GTT), adapun perbedaan itu adalah payung hukum hubungan ketenagakerjaan untuk Guru Tidak Tetap (GTT) yang tidak ada diatur dalam undang-undang pokok-pokok kepegawaian, undang-undang ketenagakerjaan maupun peraturan pemerintah yang lainnya baik dalam segi hubungan ketenagakerjaan, melaksanakan pekerjaan, penggajian, atau pun perjanjian kerja yang terkait dengan hak dan kewajiban. Dalam Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru juga tidak mengenal yang namanya Guru Tidak Tetap, dalam peraturan pemerintah ini hanya mengatur Guru yang di bagi 2 yaitu Guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil dan Guru non pegawai negeri sipil yang berdasarkan perjanjian kerja kontrak.

Sedangkan GTT yang ditinjau dari undang-undang Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga tidak mengatur Tenaga Kerja Tidak Tetap/Guru Tidak Tetap, adapun yang diatur terkait Perjanjian bagi guru dengan penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan seharusnya di buat atas dasar, kesepakatan kedua belah pihak, kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum, adanya pekerjaan yang diperjanjikan, pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku, sedangkan untuk waktu perjanjian di bagi menjadi 2 yaitu Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dan Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.


Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun atatu pekerjaan yang bersifat musiman serta tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

Kemudian, perjanjian kerja untuk waktu tertentu tersebut dapat diperpanjang atau diperbaharui yang diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. sehingga, perjanjian kerja untuk waktu tertentu tersebut yang tidak memenuhi ketentuan di atas, maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu, dengan demikian status hukum GTT belum ada payung hukum dengan Efek Hukum terhadap Guru Tidak Tetap (GTT) yang tidak memiliki payung Hukum ini maka tidak imbang antara tugas yang di emban sama dengan Guru PNS namun kesejahteraan dalam hal ini berbeda serta tidak memiliki tunjangan, dan juga mudahnya pemutusan hubungan kerja sepihak.

Namun sekarang pemerintah akan mengubah sistem tersebut perlahan-lahan dengan adanya PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja) yang status kepegawaiannya jelas, sehingga apabila telah berjalan sistem PPPK ini menjadi angin segar bagi Guru Tidak Tetap.

MASA JABATAN 9 TAHUN KADES, KEKELIRUAN BERJAMAAN DALAM BERPIKIR

Penulis: Yusuf (Ketua Umum HMI Cabang Bangka Belitung)

Wacana yang mencuat dari Kepala Desa se-Indonesia tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) mendorang adanya kebijakan-kebijakan yang mendukung agar pemerintah desa menjadi lebih baik. Salah satunya melalui revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Namun, menjadi perhatian khusus dari tuntutan pasal 39 UU No. 6 Tahun 2014 tentang satu periode masa jabatan 6 tahun dan dapat menjabat 3 (tiga) kali masa jabatan baik secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. dengan tuntutan perubahan menjadi 9 tahun dalam satu periode masa jabatan sebagai kepala desa, pada pekan lalu tanggal 17 Januari 2023 di Jakarta.

Argumentasi dari Kepala Desa masa jabatan 6 tahun tidak cukup waktu dalam pembangunan, pasalnya 2 tahun pertam biasanya digunakan untuk menyelesaikan konflik, 2 tahun berikutnya persiapan Pilkades mendatang, sehingga kerja efektif kepala desa hanya 2 tahun. Dengan adanya perpanjangan masa jabatan tersebut salah satunya agar pembangunan desa lebih efektif dan tidak terpengaruh oleh dinamika politik desa menyebabkan polarisasi akibat Pilkades.

Bahwa masalah polarisasi sosial pasca pemilihan kepala desa dijadikan alasan utama untuk perpanjangan masa jabatan, tentu itu bentuk mengada-ngada dan membuka tabir ketidak mampuan seorang elit kepala desa dalam mengelolah pemerintahannya. Jika logika itu yang digunakan, bagaimana dengan polarisasi sosial pasca Pilpres/Pilkada/Pileg tentu cakupannya lebih luas di bandingkan Pilkades. Buakankah masyarakat desa lebih dimanis dalam menyikapi persolan sosial, karena nilai-nilai keberagaman, kebersamaan dan gotong royong masih begitu kuat terhadap sesama warga desa meskipun berbeda pilihan dalam Pilkades.

Dalam sistem negara demokrasi pembatasan masa jabatan menjadi keharusan untuk menghindari adanya sikap otoriter, diktaktor, penyalahgunaan kekuasaan, dan regenerasi kepemimpinan kades yang macet. Menurut pendapat Prof Cheryl Akademisi Afrika Selatan menegaskan bahwa kekuasaan yang dominan dan tidak dibatasi dapat berpotensi mengikis demokrasi dan mengarah pada otoritarianisme. Dengan adanya pembatasan kekuasaan, dapat mendorang adanya kontestasi ide dan gagasan guna melahirkan kembali tokoh dan calon pemimpin baru muda visioner. Dengan begitu demokrasi dapat terus dirawat dengan efektif dan segera dievaluasi apabila terdapat kekurangan.

Menurut penulis yang harus menjadi poit utama dalam melakukan revisi UU No. 6 Tahun 2014 bagai mana kemudia mengatur sestematis dan efektifitas pembangunan maupun SDM elit desa dalam menuju modernisasi desa sabagi pilar kemajuan suatu Negara. Yaitu pertama melalui peningkatan kualitas dan fasilitas pendidikan di desa, karena pendidikan berperan sangat penting regenasi kepemimpinan dan kemajuan desa. Kedua menghidupkan istrumen peran dan fungsi BUMDes dalam mewujudkan kemandirian ekonomi desa sehingga dapat meningkatkan kesejahtraan masyarakat. Ketiga sistem elit pemerintahan desa sebagai kepegawaian dengan memperjelas setatusnya sehingga fokus dan lokus pembangunan desa tertata rapih.

Menjadi sangat keliru bahkan kesalahan berjamaah dalam konsep berpikir jika ide dan gagasan hanya terfokuskan dalam perpanjangan masa jabatan kelapa desa menjadi 9 Tahan periodesasi yang begitu sensitif bagi telinga masyarakat. Menurut ICW kasus korupsi dana desa terhitung sejak tahun 2012 hingga 2021 dari 601 desa terdapat 686 kepala desa dan pegawai desa terjerat korupsi. Ini harus menjadi perhatian khusus dan pembahasan kajian secara mendalam untuk pemerintah dalam hal ini adalah Presiden dan DPR RI.

KURANGNYA BUDAYA LITERASI DI KALANGAN MAHASISWA DI
BANGKA BELITUNG MEMBUAT MEREKA BERSIKAP BODO AMAT (Apatis) TERHADAP SITUASI SEKITAR

Penulis : Akhmad Hasyim fikri
Ketua umum komisariat persiapan Polman Babel

Mengemban status menjadi mahasiswa adalah satu tanggung jawab besar
bagi keberlangsungan kemajuan bangsa,begitulah kata-kata yang keluar
dari seorang motivator terkenal.Dan juga seorang berkata bahwa menjadi
mahasiswa adalah anugrah yang Diberikan Tuhan, karena tidak semua
pemuda atau pemudi diberikan kesempatan untuk mereguk dalamnya ilmu pengetahuan. Memahami apa yang di maksud di atas kita mungkin bertanya.

Apa itu mahasiswa? dan kenapa selogan mahasiswa itu terlalu di agung-agungkan di setiap kalangan?

Dalam perkembangan sejarah lahirnya negara indonesia, peran mahasiswa
banyak sekali ikut andil di dalamnya.Dari mulai memperjuangkan dan
memproklamirkan kemerdekaan, lanjut ke orde lama zaman Soekarno,kemudian orde baru zaman Suharto, dan juga zaman reformasi sampai saat sekarang. Melihat fakta di atas sudah sepantasnya lebel mahasiswa selalu di agung- agungkan di mata masyarakat Indonesia.

Mungkin karena mahasiswa adalah wakil dari Tuhan yang mensejahterakan rakyat-rakyat kecil sesuai dengan dua kata yang ada yaitu;“Maha” dan “Siswa” yang artinya “wakil Tuhan”.

Tidak bisa dipungkiri bahwa peran yang mahasiswa ambil di dalam rentetan
sejarah Negara Republik Indonesia di atas adalah hasil dari banyaknya literasi yang mereka baca dan teliti.Misalnya pada Mei 1998 terjadi kondisi sosial politik,di mana para mahasiswa dan elemen-elemen lainnya bersatu padu menumbangkan otoriter rezim orde lama (Suharto) .

Menurut penulis Hal ini di dorong karena banyaknya literasi dan juga sikap mereka yang sadar dan peduli dengan kondisi pada saat itu.Sesuai dengan judul tulisan
ini yaitu: “Kurangnya Budaya Literasi Di Kalangan Mahasiswa Di Bangka Belitung Membuat Mereka Bersikap Bodo Amat (Apatis) Terhadap Situasi Sekitar”.

Latar belakang mengapa penulis mengangkat judul di atas,adalah karena
akhir-akhir ini penulis merasa khawatir dengan mindset atau pola pikir
mahasiswa yang ada di provinsi Bangka Belitung khususnya.Bagaimana
penulis tidak merasa khawatir dengan kondisi tersebut,seorang mahasiswa
berkata kepada penulis, di saat penulis dan teman-teman mahasiswa
lainnya sedang duduk santai di warung kopi membicarakan isu-isu nasional
dan langkah-langkah pemerintah menanggapi isu-isu tersebut.di sela-sela
duduk santai itu,mahasiswa tersebut menyampaikan”kita mahasiswa tidak
usah mencampuri urusan pemerintah dalam mengelola negara,tugas kita
yaa tinggal belajar rajin-rajin kemudian kerja dan jadi orang sukses”.

Begitu simpelnya seorang mahasiswa mengatakan hal demikian,dan patut
disayangkan bila perkataan tersebut tercetus dari seorang yang sedang
menimba ilmu di perguruan tinggi atau yang di sebut dengan mahasiwa. Mahasiswa-mahasiswa seperti inilah yang penulis maksud adalah mahasiswa yang kekurangan literasi,di dalam mengemban status menjadi mahasiswa. Akibat dari kurangnya literasi tadi akan membuat kita bersikap bodo amat(Apatis) terhadap kondisi-kondisi di sekitar, bahkan timbul rasa tidak sadar dan peduli.Mahasiswa semacam itu adalah mahasiswa yang selalu mementingkan dirinya sendiri,bersifat materialisme,dan kurang melek dengan kondisi-kondisi sekitar.

Untuk menjadi orang sukses menurut hemat penulis tidak harus sekolah dan kuliah,kenyataan menyebut bahwa orang-orang kaya yang ada di luar sana, bahkan banyak yang tidak mengenyam bangku sekolah dan kuliah. Kita semua tahu bahwa mahasiswa adalah agent of control dari pemerintah,bahkan di dalam Tridharma perguruan tinggi termaktub, pendidikan ,penelitian,dan pengabdian kepada masyarakat.Kalau kita pahami isi tersurat dari Tridharma perguruan tinggi tersebut memerintahkan mahasiswa untuk mengabdikan ilmu yang ia dapatkan di perguruan tinggi kepada masyarakat luas,bukan hanya menghasilkan naskah ilmiah tanpa implementasi yang koheren dengan kondisi rakyat dan bangsa.

Maka perlu kita sadari bersama,bahwa yang namanya literasi seperti membaca buku,menulis opini dan lain-lain itu penting untuk seseorang yang sedang mengemban status menjadi mahasiswa. Karena dengan membudayakan hal itu kita akan lebih tau problematika dan situasi sekitar dan mendorong kita untuk memberikan sumbangsih untuk kemajuan
bangsa dan negara.Kalau meminjam kata-kata Tan Malaka “Bila kaum muda
yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan
pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan
hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali”
HIDUP MAHASISWA !!!
HIDUP RAKYAT INDONESIA !!!

PENGEMBANGAN LEMBAGA (ORGANISASI) PUBLIK DALAM PERSPEKTIF PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN

Oleh Penulis : SARPIN MAHASISWA MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK (MAP) FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legistlatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggara negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi non pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri seperti yang dijelaskan di dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Pelayanan publik pada lembaga/badan publik merupakan segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan publik dimana didalam penyelenggaraan pelayanan publik pada dasarnya aparatur pemerintah bertanggungjawab untuk memberikan pelayanan yang terbaik secara efektif dan efisien kepada masyarakat dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat. Efisiensi pelayanan adalah perbandingan terbalik atara input dan output pelayanan sehingga pelayanan akan efisien apabila birokrasi pelayanan dapat menyediakan input pelayanan, seperti biaya dan waktu pelayanan yang meringankan masyarakat pengguna jasa. Demikian pula pada sisi output pelayanan, birokrasi secara ideal harus dapat memberikan produk pelayanan yang berkualitas, terutama dari aspek biaya dan waktu pelayanan. Sementara efektifitas pelayanan yang diberikan oleh lembaga pemerintah sendiri adalah dimana ukuran berhasil tidaknya pencapaian tujuan organisasi tersebut dalam memberikan pelayanan kepada publik.

Pentingnya efektifitas adalah kunci dari kesuksesan suatu organisasi. Efektifitas adalah ukuran berhasil tidaknya pencapaian tujuan organisasi. Apabila suatu organisasi berhasil mencapai tujuannya, maka organisasi tersebut telah berjalan dengan efektif. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Steers (1985:9), dimana terdapat empat faktor yang mempengaruhi keberhasilan akhir organisasi, yaitu :

Pertama, Karakteristik Organisasi, karakteristik organisasi terdiri dari struktur dan tehnologi organisasi. Struktur adalah cara unik suatu organisasi menyusun orang-orangnya untuk menciptakan sebuah organisasi. Dengan demikian pengertian struktur meliputi faktor-faktor seperti luasnya desentralisasi pengendalian, Jumlah spesialisasi pekerjaan, cakupan perumusan interaksi antar pribadi dan seterusnya. Sedangkan tehnologi adalah mekanisme suatu organisasi untuk mengubah masukan mentah menjadi keluaran jadi.

Kedua, Karakteristik lingkungan, karakteristik lingkungan terdiri dari dua aspek, yaitu lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Lingkungan internal pada umumnya dikenal sebagai iklim organisasi, meliputi macam-macam atribut lingkungan kerja misalnya orientasi pada prestasi dan pekerja sentris. Sedangkan lingkungan eksternal adalah kekuatan yang timbul di luar batas-batas organisasi dan mempengaruhi keputusan serta tindakan dalam organisasi.

Ketiga, Karakteristik pekerja, karakteristik pekerja merupakan faktor yang paling penting atas efektivitas organisasi, karena perilaku mereka inilah yang dalam jangka panjang akan memperlancar atau memperlambat tujuan organisasi. Keempat, Kebijakan dan praktek manajemen, kriteria kebijakan dan paraktek menejemen terdiri dari penetapan tujuan strategis, pencarian dan pemanfaatan sumber daya secara efisien, menciptakan lingkungan prestasi, proses komunikasi, kepemimpinan dan pengambilan keputusan serta adaptasi dan inovasi organisasi.

Ketika kita berbicara tentang pelayanan publik, kita tidak lepas dari suatu lembaga publik sebagai sarananya. Lembaga publik yang sudah terbentuk secara sistematis tentunya telah memiliki tugas pokok dan fungsi masing-masing yang telah disesuaikan dengan kebutuhan administrasi pemerintahan secara umum.

Lembaga publik yang telah ada sekarang bukanlah lembaga yang bersifat kaku dan tidak dapat dikembangkan. Suatu lembaga publik dapat dibentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya dan sesuai dengan kebutuhan suatu lembaganya sebagaimana yang telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, tentunya dalam rangka untuk memberikan pelayanan prima kepada publik. Oleh karena itu Lembaga (Organisasi) publik mau tidak mau harus mampu beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi secara cepat. Dalam teori pengembangan organisasi publik harus diaplikasikan berdasarkan basis data yang akuntabel.

Hal tersebut untuk mengetahui kinerja organisasi publik yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan secara terukur. Kebijakan dalam penanganan perkara koneksitas misalnya, Kejaksaan sebagai salah satu lembaga (organisasi) publik terus beradaptasi terhadap perkembangan yang terjadi untuk menjawab kebutuhan masyarakat selaku penerima layanan khususnya masyarakat pencari keadilan. Lahirnya Peraturan Presiden RepubIik Indonesia Nomor 15 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia telah membidani lahirnya babak baru dalam penanganan perkara koneksitas yang selama ini sulit untuk di tindaklanjuti.

Selanjutnya Peraturan Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Jaksa Agung Nomor : PER-006/A/JA/07/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia merupakan penjabaran secara detail tentang struktur baru organisasi di lingkungan Kejaksaan, yang secara spesifik mengatur tentang Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer (JAMPIDMIL) untuk mencegah terjadinya disparitas atau kesenjangan dalam penuntutan perkara sipil dan perkara militer.
Sejatinya kebijakan pengembangan organissai Kejaksaan melalui pembentukan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer merupakan kunci Satu Komando Penuntutan pada Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi di Indonesia yang merupakan manifestasi dari pelaksanaan prinsip single prosecution system, demi terwujudnya asas “dominus litis” secara konsisten yang sejalan dengan amanat Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa “Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan (eec en ondeelbaar).

Suatu keniscayaan lembaga publik yang telah memiliki kewenangan tersendiri sebagaimana yang telah diatur didalam hukum positif dapat memfungsikan lembaganya searah dengan tugas pokok dan fungsi yang telah dirumuskan sesuai dengan visi dan misi suatu lembaga itu dibentuk.

Pertumbuhan cara berfikir dan cara kerja masyarakat selalu berkembang dan semakin modern mengikuti perkembangan zaman, hukum menyesuaikan sosiologi masyarakatnya dan sosiologi masyarakat secara otomatis membentuk hukum itu sendiri. Demikian pula dengan lembaga negara, lembaga negara yang tujuannya melayani masyarakat merupakan lembaga yang digerakkan oleh sumber daya manusia yang seharusnya juga memiliki pemikiran yang berkembang seiring dengan perkembangan zaman, perkembangan hukum, dan perkembangan masyaraktanya.

Lembaga negara yang merupakan lembaga publik yang bersifat kaku akan sulit menyesuaikan kebutuhan organisasi dan masyarakatnya. Oleh sebab itu lembaga negara sebagai sasaran pelayanan publik harus dapat mengembangkan diri dan mensingkronisasikan kebutuhan lembaga dengan peraturan perundang- undangan yang belum merangkul fungsi organisasi dan kebutuhan masyarakat yang selalu bergerak cepat dan modern.

Dengan pengembangan lembaga publik diharapkan dapat meningkatkan kualitas/mutu pelayanan suatu lembaga kepada masyarakat dimana pelayanan publik adalah pelayanan yang ditargetkan sebagai kepuasan bagi siapapun yang menerimanya. Sistem administrasi Negara yang efisien dan efektif bukan mencerminkan dari hasil koreksi dan pengaduan dari publik, tetapi merupakan hasil ciptaan kreatif atas dasar pengelolaan pemerintahan yang proaktif terhadap berbagai keperluan publik.

Aparatur pemerintahan seharusnya mampu mendorong aktivitas publik pada berbagai dimensi pembangunan yang meningkat kearah yang lebih baik. Untuk pelayanan publik wajib dikelola oleh aparatur Negara dalam manajemen birokrasi yang bersifat apolitik, mengefektifkan kualifikasi yang bersifat spesialisasi, dan mendorong terciptanya jangkar koordinasi yang lebih luas, efektif dan efisien, sehingga dapat menjadi pusat keunggulan dalam peradaban pelayanan publik sebagaimana termuat dalam Grand Design Penguatan Program Reformasi Birokrasi melalui Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM). WALLAHU A’LAM BISH-SHAWABI

Tradisi Rotasi dalam Pengangkatan Panglima TNI Wujud Hikmat Kebijaksanaan

Oleh: Ngasiman Djoyonegoro Pengamat Intelijen, Pertahanan dan Keamanan

Pergantian Panglima TNI kemungkinan akan dilaksanakan oleh Presiden dalam waktu dekat ini. Pengangkatan Panglima TNI merupakan hak prerogatif Presiden. Seharusnya tidak ada intervensi dari pihak manapun. Pengamat pertahanan, keamanan dan intelijen, Ngasiman Djoyonegoro menyampaikan keyakinannya bahwa presiden akan melanjutkan tradisi rotasi lintas matra pada pergantian panglima TNI tahun ini.

Sebagaimana diketahui, sejak Reformasi 1998, Panglima TNI dijabat dari tiga matra laut, darat dan udara secara bergantian, yaitu: Widodo Adi Sutjipto (TNI AL) 1999-2002; Endriartono Sutarto (TNI AD) 2002-2006; Djoko Suyanto (TNI AU) 2006-2007; Djoko Santoso (TNI AD) 2007-2010; Agus Suhartono (TNI AL) 2010-2013; Moeldoko (TNI AD) 2013-2015, Gatot Nurmantyo (TNI AD) 2015-2017, Hadi Tjahjanto (TNI AU) 2017-2021 dan Andika Perkasa (TNI AD) 2021-2022.

“Tradisi bergiliran antar matra ini saya kira sebagai bentuk hikmat kebijaksanaan yang dipegang teguh oleh para pemimpin kita dan dituangkan dalam undang-undang. Jika melihat rutenya, peluang ada di TNI AL,,” tutur pria yang akrab dipanggil Simon.

Simon menuturkan bahwa ke depan terdapat dua agenda strategis pertahanan negara. Pertama, pengamanan wilayah laut dan kepulauan dari pencaplokan oleh negara-negara lain. Potensi eskalasi konflik lintas di kawasan laut Indo-Pasifik cukup tinggi. Ada potensi militerisasi dikawasan tersebut yang disebabkan oleh persaingan antara dua negara Amerika Serikat dan China. Dukungan penjagaan laut merupakan garda terdepan dalam menjaga kedaulatan, tentu upaya diplomasi tetap dijalankan. Disamping itu, kejahatan trans-nasional, seperti penyelundupan senjata juga terjadi di laut.

Kedua, visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia perlu dilanjutkan. Poros Maritim Dunia bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang besar, kuat, dan makmur melalui pengembalian identitas Indonesia sebagai bangsa maritim, pengamanan kepentingan dan keamanan maritim, memberdayakan potensi maritim untuk mewujudkan pemerataan ekonomi Indonesia. “Aspek pertahanan maritim merupakan aspek pokok dalam mewujudkan visi Poros Maritim Dunia,” Sesuai filosofi dalam G20 ada bagian bawah terdapat tulisan G20 Indonesia. Tulisan tersebut berwarna biru tua, yang merepresentasikan identitas Indonesia sebagai negara maritim – laut yang luas; kaya sumber daya dan memiliki kekuatan menghubungkan dunia dan bangsa. Sebagai negara maritim, laut sangat dekat dengan kehidupan rakyat Indonesia, ungkap Simon.

Ketiga, Perang Ukraina-Rusia yang sedang berlangsung berdampak pada krisis energi dan pangan telah menghantui negara-negara di seluruh dunia. Indonesia adalah negara yang berpotensi terdampak krisis tersebut.

Secara internal TNI juga memiliki banyak pekerjaan rumah (PR), terutama pada penguatan Minimum Essential Force (MEF) dan teknologi alusista. Tapi yang lebih penting menurut Simon, seorang Panglima TNI adalah sosok yang memiliki chemistry dan sepemikiran dengan Presiden.[]

Mencari ‘Jejak’ Pahlawan Lewat Google Maps

Penulis Nurhayati, M.Kes (Dosen Poltekkes Pangkalpinang)

Hari ini hari Pahlawan. Momentum terbaik bagi bangsa kita buat bersiap-siap menghadapi resesi yang diprediksi akan segera menerjang Indonesia tanpa ampun.

Tema yang tersaji tahun ini penuh makna “Pahlawanku Telandanku”.

Harapan besar tak lebih semoga bisa menjadi perekat kuat guna bergandengan tangan bersama, agar tak sempoyongan dihantam badai krisis global.

Masih segar diingatan saya di akhir 80an, saat bisa menghafal nama-nama para pahlawan yang poster bergambar wajah mereka terpampang rapi di setiap sudut kelas Sekolah Dasar kami.

Bangga dan punya kesan mendalam saat menelusuri jejak-jejak perjuangan mereka dalam buku sejarah.

Saya masih ingat kalo cita-cita saya kelak bisa mengikuti jejak Bung Karno.

Berharap bisa minimal mendekati menjadi sosok berwibawa memimpin bangsa untuk bergerak maju mengusir penjajah, bukan bergerak maju menanam padi ditanah penuh lumpur seperti adegan video yang viral beberapa waktu lalu.

Jika tak mampu menjadi seperti Ir Sukarno yah kalau bisa cita-cita kedua saya kepingin seperti Cut Meutia

Beliau pemimpin Gerilya Aceh yang berperang melawan pasukan kolonial Belanda.

Sejak kecil, dirinya diajarkan agama Islam oleh kedua orang tuanya, bagaimana menghidupkan amar ma’ruf nahi munkar.

Cut Meutia mengambil posisi paling depan di pertarungan yang tidak seimbang dari segi jumlah dan persenjataan

Pada akhirnya membuat dirinya terbunuh setelah tiga tembakan peluru menerjangnya.

Tapi percayalah, integritas dan konsistensi perjuangannya untuk bangsa ini tak akan pernah membuat dia menukarnya dengan menjadi seorang penjilat bin penghianat.

Bangsa ini kehilangan sosok-sosok seperti mereka berdua dan sosok pahlawan-pahlawan lainnya.

Yang tersisa hanya nama mereka, yang salah satu diantaranya masih ampuh dan sakti menjadi nama belakang penanda keturunan.

Dan yang tersisa lainnya hanya sebatas nama mereka yang terpampang pada kayu yang sudah rapuh dan plat besi yang sudah karatan sebagai penanda nama pada jalan-jalan protokol.

Bangsa kita seolah kesulitan menyusuri jejak-jejak kepahlawanan mereka.

Nama mereka pun kadang hanya terlintas saat kita sedang mencari alamat. Mungkin kita tak akan pernah sampai berniat untuk menyusuri jejak-jejak perjuangan mereka.

Karena kita hanya butuh sesaat pada nama mereka untuk sampai di tujuan via Google Maps agar tak tersesat pada alamat palsu.

Sulit kemudian bagi kita untuk mewarisi semangat mereka dalam rangka membenahi bangsa ini yang sedang tidak baik-baik saja.

Sebab Google Maps hanya mampu menunjukkan posisi dan lokasi sekitar papan rapuh tempat nama mereka terpampang, tapi tidak dengan lokasi spirit perjuangannya.

Selamat Hari Pahlawan !

Pilih SUMPAH PEMUDA atau DISUMPAI PEMUDA !

Oleh Nurhayati, M.Kes (Dosen Poltekkes Pangkalpinang)

Pangkalpinang, 28 Oktober 2022. HUT Sumpah Pemuda diperingati hari ini. Tepat 28 Oktober 2022. Beberapa minggu ini, Indonesia masih diramaikan dengan berbagai isu yang trend di media sosial. Dari perkembangan kasus persidangan FS, laporan ijazah palsu hingga pencalonan mantan Gubernur Jakarta sebagai Capres.

Ada pula penangkapan wanita bercadar, dengan tuduhan hendak menerobos dan menembak di Istana Presiden. Dan yang terakhir, artis NM yang dengan style pakaian sedikit seksinya, mulai menikmati kehidupan baru di Rutan

Persoalan sosial-politik dan keamanan yang tak pernah habisnya. Seolah bangsa kita ini berputar di circle itu-itu saja. Tak ada pergerakan maju. Kita asyik dengan saling menggoreng dan kukuh terhadap pendirian berdasarkan pilihan politik. Juga persepsi sendiri-sendiri atas bacaan media dan tontonan kita masing-masing.

Di beberapa daerah, masih sibuk dengan isu yang dianggap keren soal Metaverse. Sementara pasca ditinggal bos penanggungjawabnya, Vivik Salma yang juga Wakil Presiden Horizon, kini Meta diketahui bertaruh mati-matian untuk mega investasinya pada Metaverse, dunia yang bisa diakses orang lewat Virtual Reality dan teknologi augmented reality. Meta sedang di posisi yang cukup dilematis. Antara terus mengembangkan ataukah mundur perlahan. Lah…

Sementara di beberapa wilayah di negeri +62 ini, justru masih giat berdiskusi menjadikannya sebagai sesuatu yang keren, sekaligus proyek masa depan di kotanya. Di beberapa forum diskusi dan online yang diselenggarakan oleh lembaga riset internal Harvard Kennedy School maupun Stanford University, yang undangannya melalui email dari beberapa pertemanan saya di sebuah jejaring sosial. Tampak tema serta isu-isu yang didiskusikan jauh melampaui dari apa yang sedang kita perdebatkan di negeri ini.

Mereka adalah sekelompok pemuda yang konsen pada pengembangan Teknologi Artificial Intelligence, riset sosial-ekonomi yang sangat update, dibandingkan ilmu-ilmu yang beredar dalam dunia kampus kita sekarang ini.

Kelompok kaum muda ini memang beruntung, mereka dibesarkan dalam lingkungan yang selalu mencoba bergerak maju dan tak mempersoalkan hal-hal yang bersifat perdebatan yang tak ada ujungnya.

Mereka adalah generasi muda yang tak akan pernah peduli dengan prank nasional, yang dilakukan publik figur LST dan RB.

Ini bukan membandingkan. Ini adalah sebuah upaya guna menarik kembali generasi muda kita untuk lebih fokus membangun bangsa ini. Kembali bergerak dari gerakan struktural ke gerakan kultural, untuk kemajuan anak bangsa di masa mendatang.

Kita punya potensi SDA dan SDM yang tidak kalah bagus dari orang-orang di luar sana. Saatnya membersamai upaya mengembalikan bangsa ini, yang telah tercerabut dari akar sejarahnya menuju kepada sebuah kesadaran, bahwa bangsa ini harus kembali on the track dalam upaya gerak majunya menuju sebuah peradaban.

Sebab, bangsa ini adalah titipan generasi mendatang. Soal maju atau mundurnya, semua ada di tangan kita sekarang ini. Tepat di 94 Tahun HUT Sumpah Pemuda, kaum muda kita sekarang harus memilih di antara dua pilihan, kembali ke semangat Sumpah Pemuda, atau Pemuda yang “disumpahi” oleh semangat generasi yang akan datang. Selanjutnya terserah Anda!

Strategi Meliter Jenderal Andika, Tonggak Terbaik Untuk Indonesia

Laporan Redaksi

Jakarta,- Posberita Nasional.com |Dalam sejarah perang modern yang telah memakan semakin banyak korban ketika terjadi perang terbuka, kolosal dan agresif menggunakan hard power, maka banyak pakar telah mengadvokasi strategi baru yang lebih rasional dan efektif untuk mencapai tujuan operasi militer, dengan sumber daya yang paling efisien namun efektif mencapai tujuan. Pemikiran cerdas ini yang sepertinya mendorong Jenderal Andika untuk mengurangi pertempuran terbuka dalam menyelesaikan konflik dalam negeri yang melibatkan kelompok bersenjata, termasuk yang terjadi Papua.

Pemikiran memangkas perang terbuka dan operasi militer kolosal untuk mencapai tujuan operasi militer mulai dipopulerkan pasca Perang Dunia I melalui pemikiran Indirect Approach versi Basil Liddle Hart (1895-1970). Meraih tujuan operasi militer tidak harus berorientasi pada dahsyatnya letupan senjata, namun berorientasi pada efektifitas pencapaian tujuan politik negara.

Pensiunan Kapten AD Inggris dan salah satu jenius militer Abad XX ini begitu miris melihat korban manusia PD I dan menjadikan perang ini menjadi yang paling menghancurkan di era modern, dengan 10 juta prajurit tewas, 10 sipil tewas, dan 21 juta orang terluka. Lalu Liddle Hart menyampaikan sebuah adagium terkenal, “The longest way round (to enemy) is the shortest way home”. Jalan terpanjang dan paling berliku untuk mengalahkan musuh adalah yang paling cepat memenangkan perang dan paling cepat mengantarkan para prajurit kembali ke rumah.

Dalam strategi modern model Indirect Approach, mengalahkan lawan bukan hanya mematikan gerakan bersenjata dengan senjata, namun menghentikan seluruh keinginan politik dan gerakan senjata lawan dengan kebijakan militer yang tepat, cara militer dan non militer, serta bukan melulu dengan letupan senjata. Liddle Hart mengatakan Indirect Approach sebagai “A strategy in which the enemy’s political will is overcome by wisdom and not by force.” Kebijakan militer yang bijak akan lebih ampuh diterapkan dibandingkan pengerahan kekuatan besar-besaran tanpa visi politik yang jelas.

Pada era perang modern berikutnya, model strategi Indirect Approach menjadi gagasan penting yang diadopsi oleh para jenius militer. Salah satunya mendorong lahirnya strategi Effect-Based Operations (EBO) atau Operasi Berbasis Efek. EBO menjadi strategi dasar militer AS pada Perang Teluk tahun 1991 untuk merencanakan dan melaksanakan operasi gabungan dengan melibatkan operasi tempur dan non-tempur, melibatkan kekuatan militer dan sipil, untuk mencapai sasaran strategi. Pencetus EBO, Letkol David A. Deptula (Saat ini Letjen Purnawirawan – Dekan di Mitchell Institute), menyatakan bahwa “EBO focused on desired outcomes attempting to use a minimum of force”. EBO fokus pada pencapaian tujuan operasi dengan pengerahan kekuatan minimal, serta biaya dan korban minimal. Dalam perang apapun, yang menentukan kemenangan perang bukan melulu seberapa besar pengerahan kekuatan Alutsista, namun seberapa besar dampak yang dihasilkan oleh sebuah strategi operasi.

Sejujurnya, bangsa Indonesia harus mengakui bahwa wajah operasi TNI di Papua telah berubah total berkat pemikiran jenius Jenderal Andika. Pendekatan berpikir Jenderal Andika tentang pengerahan kekuatan TNI di Papua yang lebih humanis, bukan operasi tempur agresif, sudah sangat tepat, selaras dengan pemikiran Indirect Approach Basil Liddle Hart dan Effect-Based Operation David Deptula. Kekuatan senjata mungkin bisa memenangkan pertempuran, namun belum tentu memenangkan tujuan politik, serta belum tentu berdampak optimal bagi stabilitas politik dan keamanan bangsa kita. Mungkin ada yang menganggap strategi ini kurang populer atau bahkan kurang heroik, tapi yakinlah ini juga yang terbaik untuk prajurit dan terbaik untuk negeri ini. “The longest way round to enemy is the shortest way home”.

Sumber Edi Yoga
[Pendiri Beranda Ruang Diskusi]

Mematahkan Mitos NEM, IPK dan Ranking

Penulis Nurhayati, M.Kes.

Ada 3 hal ternyata tdk terlalu berpengaruh terhadap kesuksesan yaitu: NEM, IPK dan rangking

Saya mengarungi pendidikan selama 18 tahun (6 tahun SD, 6 tahun SMP-SMA, 4 tahun S1, 2 tahun S2)

Kemudian saya mengajar selama 15 tahun di universitas di tanah air.
Saya menjadi saksi betapa tidak relevannya ketiga konsep di atas terhadap kesuksesan.

Ternyata sinyalemen saya ini didukung oleh riset yang dilakukan oleh Thomas J. Stanley yang memetakan 100 faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kesuksesan seseorang berdasarkan survey terhadap 733 millioner di US

Hasil penelitiannya ternyata nilai yang baik (yakni NEM, IPK dan rangking) hanyalah faktor sukses urutan ke 30

Sementara faktor IQ pada urutan ke-21
Dan bersekolah di universitas/sekolah favorit di urutan ke-23.

Jadi saya ingin mengatakan secara sederhana: Anak anda nilai raport nya rendah Tidak masalah.

NEM anak anda tidak begitu besar?
Paling banter akibatnya tidak bisa masuk sekolah favorit.
Yang menurut hasil riset, tidak terlalu pengaruh terhadap kesuksesan

Lalu apa faktor yang menentukan kesuksesan seseorang itu ?
Menurut riset Stanley berikut ini adalah sepuluh faktor teratas yang akan mempengaruhi kesuksesan:

1. Kejujuran (Being honest with all people)
2. Disiplin keras (Being well-disciplined)
3. Mudah bergaul atau friendly (Getting along with people)
4. Dukungan pendamping (Having a supportive spouse)
5. Kerja keras (Working harder than most people)
6. Kecintaan pada yang dikerjakan (Loving my career/business)
7. Kepemimpinan (Having strong leadership qualities)
8. Kepribadian kompetitif atau mampu berkompetisi (Having a very competitive spirit/personality)
9. Hidup teratur (Being very well-organized)
10. Kemampuan menjual ide atau kreatif / inovatif (Having an ability to sell my ideas/products)

Hampir kesemua faktor ini tidak terjangkau dengan NEM dan IPK.
Dalam kurikulum semua yang ditulis di atas itu dikategorikan sebagai softskill.
Biasanya peserta didik memperolehnya dari kegiatan di ekstra-kurikuler.

So, mengejar kecerdasan akademik semata, kemungkinan besar hanya akan menjerumuskan diri sendiri.

Kejarlah kecerdasan spiritual, agamais …., maka kecerdasan lain akan mengikuti dan kesuksesan ada di depan mata…, InsyaAllah, sukses selalu untuk anak-anak kita.

TANGGAP COVID-19, DESA BISA APA..? (Langkah & strategi desa untuk mencegah & menaggulangi COVID-19)

 

Posberitanasional.com, 23/4/2020, BABEL – To the points;
Beberapa langkah yang bisa dilakukan & diperkuat di level desa dalam pencegahan & penanggulangan COVID-19;

*DATA
Desa harus punya data setiap orang yang pernah melakukan perjalanan luar daerah/luar negeri. Mendata secara lengkap identitas, riwayat perjalanan & riwayat kontak dll. Data tersebut harus jelas statusnya apakah termasuk PPTG (Pelaku Perjalanan Tanpa Gejala), OTG (Orang Tanpa Gejala), ODP (Orang Dengan Pemantauan, atau PDP (Pasien Dalam Pengawasan).

*EDUKASI
Sekedar mendata setiap orang yang masuk kampung tidaklah cukup, mereka harus dipahamkan untuk melakukan karantina di rumah masing-masing, selain itu diedukasi terkait tanda & gejala covid, cara transmisi, pencegahan, PHBS, tujuan melakukan karantina dan juga nomor kontak petugas yang sewaktu-waktu dapat dihubungi.

*PANTAU & AWASI
Setelah mendata & mengedukasi, tetap harus dipantau dan diawasi selama menjalani proses karantina rumah. Hal itu bisa dilakukan secara rutin by phone atau mengunjungi secara berkala untuk mengetahui keadaannya atau kembali menguatkan pemahamannya tentang COVID-19. Pantau & awasi proses karantina adalah cara terbaik untuk memutus rantai penularan virus corona. Ketika ada yang kondisi kesehatannya memburuk yang mengarah ke COVID-19, dapat langsung diisolasi agar tdk menularkan kepada orang lain dan transmisinya akan terputus. Sehingga fokus selanjutnya adalah pengobatan individu tersebut.

*FASILITASI
Selanjutnya, desa dapat berinisiatif agar setiap individu yang didata dapat difasilitasi dengan memberikan bantuan; seperti sabun cuci tangan, handsanitizer, masker ataupun disinfektan. Hal ini membantu mereka melaksakan perilaku hidup bersih dan sehat selama karantina.

*PEMBERDAYAAN
Saya rasa setiap desa tidak kekurangan orang-orang yang peduli dengan masalah COVID ini. Tinggal bagaimana desa mengakomodir kepedulian mereka dalam bentuk gerakan yang terarah. Ada mahasiwa dan pemuda desa yang bisa dilibatkan menjadi relawan desa, mensupport bidan & perawat desa dalam mendata, mengedukasi dan memantau keadaan PPTG, OTG, ODP, atau PDP. Sampai pada pemberdayaan mahasiswa & pemuda untuk menjahit masker bisa dilakukan apabila hal tersebut difasilitasi oleh pemerintah desa.

Setelah berikhtiar maksimal, kita berharap COVID-19 ini segera berakhir, dan aktifitas di desa-desa kembali normal, aman & sehat.

~ Nurhayati, S.KM.,M.Kes ~
#Posberitanasional.com
#JurusanKeperawatanPoltekesKemenkesPangkalpinang
#MariCegahCorona
#AyoBersamaSamaBasmiCorona
#TetapHidupBersihDanSehat
#PemberdayaanMasyarakat

WANITA DI MATA BUDAYA EKOPOL MEDIA

Opini Publik

Sumber Oleh :
Irfandi Mustafa
(Pengurus Cabang, PMII Kota Ternate)

Senin 17 Februari 2020,- Persolaan perempuan cukup menarik untuk diperbincangkan,mulai dari urusan domestik sampai pada masalah yang berbaur komersial (industrialisasi).

Dalam dunia kapitalisme global perempuan selalu dijadikan sebagai objek tontonan alias hiburan,wanita mempunyai fungsi dominan sebagai pembentuk citra maupun tanda. Berbagai komoditi seperti umbrella girl, cover girl, atau model girl turut mewarnai dunia entertaiment kita, sebab menjadikan tubuh sebagai tontonan bagi sebagian perempuan merupakan jalan menuju popularitas, mengejar gaya hidup, dan untuk memenuhi kepuasan materil, tanpa menyadari sebetulnya telah dikonstruksi secara sosial untuk berada di dunia marjinal-dunia objek, dunia citra maupun sebagai komoditas ekonomi politik dari kepentingan neoliberal.

Sejarah tubuh wanita di dalam ekonomi politik kapitalisme adalah sejarah pemenjaraannya sebagai tanda atau fragmen-fragmen tanda. Kapitalisme membebaskan “tubuh wanita” dari tanda-tanda dan identitas tradisional seperti tabu, etiket, adat, moral dan spritual menjadikannya lebih liberatif lewat kekuatan media sebagai alat propaganda. Kemudian fungsi tubuh bergeser dari fungsi organis, biologis, reproduktif kearah fungsi ekonomi politik yang menjadikan tubuh sebagai komoditi ataupun mesin hasrat (ekonomi libido).

Tubuh kemudian menjadi bagian dari semiotika ekonomi neolib dengan memperjualbelikan tanda, makna dan hasratnya. Eufhoria neolib menemukan artikulasinya melalui jalur media. Beragam janji, fantasi, ilusi, halusinasi, kenyamanan, kesenangan, kegairahan, prestitise maupun sensualitas membaur dalam media. Kalaupun media menyampaikan berita bencana, kriminalitas, atau demonstrasi (lih.film cerita,dan berita) selalu direduksi menjadi tontonan atau hiburan.

Tubuh wanita yang dimuati dengan modal simbolik ketimbang sekedar modal biologis. Erotisassi tubuh wanita didalam media adalah mengambil fragmen-fragmen tubuh tersebut sebagai penanda dengan berbagai posisi dan pose serta dengan berbagai asumsi makna dan menaturalisasikan tubuhnya secara kultural sebagai obyek yang dipuja (sekaligus dilecehkan ?) karena dianggap mempunyai kekuatan pesona (ransangan).

Media menjadikan tubuh sebagai penanda yang dikaitkan dengan makna tertentu sesuai dengan tujuan ekonomi politik, seperti rambut yang indah eqivalen dengan shampo clear, pinggul yang sempurna sesuai dengan jean yang dikenakan, bibir yang sensualitas sesuai dengan sensualitas permen karet dan sebagainya.

Wanita kemudian diposisikan sebagai objek tanda dalam sistem tanda dalam sistem komunikasi untuk kepentingan kapitalisme. Bibir, mata, paha, betis, pinggul, perut, buah dada etc. hanya digunakan untuk menyampaikan makna tertentu yang disertai dengan aneka produk.

Artinya, gelora hasrat yang muncul dari fragmen-fragmen tubuh memiliki nilai komersial yang cukup mengairahkan dan menjajikan dalam mendatangkan keuntungan sehingga ekonomi politik ‘tanda’ kini menuju ekonomi politik hasrat. Eksploitasi tubuh wanita di dalam ekonomi hasrat sama bentuknya dengan eksploitasi kaum pekerja di dalam kapitalisme awal, dimana kelas pekerja dijadikan nilai tenaganya sesuai dengan nilai tukarnya. Maka wanita dieksploitasi melalui nilai tanda ‘nilai libido-nya’ equivalensi dengan nilai tukar komoditi. Dalam sistem kapitalisme sekarang ini ‘nilai’tubuh dikembangkan ke dua arah yaitu ; sebagai ‘nilai guna’ (erotika) dan ‘nilai tukar-jual’(tubuh sebagai tanda).

Padahal peran dominan tubuh wanita sebagai tanda dan citra media (iklan dan televisi) sebetulnya terdapat kontradiksi pokok, tubuh wanita digunakan dalam media sebagai penjual produk. Sementara, wanita itu sendiri mempunyai peran konsumsi (menonton TV, melihat iklan, berbelanja).artinya wanita lebih banyak mengkonsumsi citra dirinya sendiri kerimbang pria. Kondisi ini turut membentuk abnormalitas seksual dikalangan wanita .( waspadalah……! )