Fenomena Decreasing Return to Scale dalam Pengangkatan PPPK: Ketika Penambahan Pegawai Tak Lagi Menjamin Kinerja

Suhardi Dosen Universitas Pertiba

Program pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) terus bergulir di berbagai daerah. Pemerintah berupaya memenuhi kebutuhan tenaga guru, tenaga kesehatan, dan tenaga teknis yang selama ini menjadi tulang punggung pelayanan publik. Harapannya sederhana yaitu semakin banyak PPPK yang diangkat, semakin baik pula kinerja birokrasi.

Namun, kenyataan di lapangan tidak selalu seindah harapan. Di sejumlah daerah, tambahan ribuan pegawai belum sebanding dengan peningkatan kinerja pelayanan publik. Anggaran belanja pegawai melonjak, sementara efektivitas kerja masih berjalan di tempat. Fenomena ini bisa dijelaskan melalui konsep ekonomi yang dikenal sebagai “decreasing return to scale” – penurunan hasil skala.

Dalam teori ekonomi, decreasing return to scale terjadi ketika penambahan input (seperti tenaga kerja dan modal) tidak lagi menghasilkan output yang meningkat secara sepadan. Jika analogi ini kita bawa ke dunia birokrasi, maka semakin banyak PPPK diangkat, belum tentu pelayanan publik menjadi lebih cepat atau lebih baik – bahkan bisa menurun karena sistem pendukungnya belum siap.

Bayangkan satu petak sawah berukuran seperempat hektar yang idealnya digarap oleh dua orang petani. Dengan dua tenaga kerja, semua pekerjaan – mulai dari mencangkul, menanam, hingga memanen – dapat diselesaikan dengan efisien. Namun, ketika jumlah tenaga kerja dinaikkan menjadi empat, enam, bahkan delapan orang dalam petak sawah yang sama, efektivitas justru menurun. Terlalu banyak orang di lahan sempit membuat sebagian pekerja tidak memiliki ruang gerak, alat yang terbatas harus dipakai bergantian, dan koordinasi menjadi kacau. Akibatnya, waktu kerja lebih lama, tenaga terbuang, dan hasil panen tidak meningkat secara berarti. Inilah gambaran sederhana dari decreasing return to scale – kondisi di mana penambahan tenaga kerja tidak lagi menaikkan hasil, bahkan bisa menurunkannya karena muncul ketidakefisienan.

Fenomena ini mencerminkan paradoks birokrasi modern, semakin banyak tenaga yang dipekerjakan, semakin kecil nilai tambah yang dihasilkan jika tata kelola tidak disederhanakan. Ketika struktur organisasi terlalu gemuk, informasi menjadi lambat, pengambilan keputusan terhambat, dan orientasi hasil bergeser menjadi orientasi prosedur. Akibatnya, tambahan pegawai yang seharusnya memperkuat pelayanan publik justru memperpanjang rantai administratif. Dalam jangka panjang, birokrasi yang mengalami decreasing return to scale akan kehilangan daya respons, ruang inovasi, dan efisiensi fiskalnya – hingga akhirnya kinerja organisasi publik tidak lagi ditentukan oleh jumlah pegawai, melainkan oleh seberapa cerdas sistem itu dikelola.

Ruh PPPK dalam Sistem Kepegawaian Indonesia

Ruh utama kebijakan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) sesungguhnya berakar pada semangat reformasi birokrasi untuk membangun aparatur sipil yang lebih profesional, fleksibel, dan berorientasi kinerja. Regulasi melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN menegaskan bahwa PPPK bukanlah tenaga kontrak biasa, melainkan bagian integral dari ASN bersama dengan PNS. Bedanya, PPPK diikat melalui perjanjian kerja berbasis waktu dan kinerja, bukan status kepegawaian permanen. Dengan sistem ini, negara berupaya menggeser paradigma lama birokrasi yang lamban dan hierarkis menuju sistem yang lebih adaptif terhadap kebutuhan jabatan fungsional dan dinamika pelayanan publik modern.

Namun dalam implementasinya, ruh PPPK kerap tereduksi oleh cara pandang birokratis yang masih konvensional. Banyak instansi publik yang masih menempatkan PPPK sekadar sebagai “tenaga tambahan”, bukan profesional yang sejajar dalam struktur ASN. Akibatnya, potensi inovasi dan produktivitas PPPK sering terhambat oleh persoalan administratif, diskriminasi hak, hingga minimnya pembinaan karier. Padahal, esensi sistem kontrak justru dirancang untuk menanamkan tanggung jawab kinerja dan akuntabilitas individual yang lebih kuat daripada pola masa kerja linear seperti pada sistem PNS tradisional. Jika pola pikir ini tidak berubah, maka semangat meritokrasi yang menjadi ruh PPPK akan tergerus oleh rutinitas birokrasi yang kaku.

Secara kritis, perlu disadari bahwa PPPK adalah representasi masa depan ASN yang berbasis kompetensi, bukan sekadar jabatan struktural. Kebijakan ini idealnya menjadi pintu masuk bagi pembentukan kultur baru di sektor publik yaitu birokrasi yang lincah, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Untuk itu, pemerintah perlu memastikan sistem evaluasi kinerja yang objektif, perlakuan yang setara dalam hak dan pengembangan kompetensi, serta kepemimpinan birokrasi yang mampu memandang PPPK sebagai aset strategis, bukan beban administratif. Jika ruh ini benar-benar dijaga, maka keberadaan PPPK tidak hanya menjadi solusi atas kekurangan tenaga, tetapi menjadi katalis perubahan menuju birokrasi Indonesia yang berdaya saing dan berdampak nyata bagi publik.

Apa yang keliru dari praktik pengangkatan PPPK di Indonesia?
Pengangkatan PPPK pada dasarnya dimaksudkan untuk memperkuat pelayanan publik melalui rekrutmen aparatur profesional berbasis kompetensi. Namun dalam praktiknya, semangat ini sering kali bergeser dari ruh aslinya. Banyak daerah yang masih memandang pengangkatan PPPK semata sebagai cara untuk menghapus status honorer, bukan sebagai strategi reformasi birokrasi. Akibatnya, proses rekrutmen sering dilakukan tanpa analisis jabatan dan beban kerja yang matang. Kebutuhan riil instansi tidak selalu menjadi pertimbangan utama, sehingga penempatan pegawai kerap tidak sesuai dengan bidang keahliannya. Ketidaktepatan ini kemudian berdampak pada rendahnya efektivitas dan produktivitas setelah pegawai diangkat.

Kesalahan berikutnya terletak pada anggapan bahwa pengangkatan PPPK otomatis akan meningkatkan kinerja organisasi. Faktanya, penambahan jumlah pegawai tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kinerja. Banyak instansi yang belum menyiapkan sistem pembinaan, evaluasi kinerja, maupun pelatihan berkelanjutan untuk PPPK yang baru diangkat. Akibatnya, sebagian besar PPPK beradaptasi tanpa arah pembinaan yang jelas, bahkan mengalami kebingungan terhadap peran dan tanggung jawabnya. Dalam situasi seperti ini, tambahan pegawai justru dapat menciptakan beban baru bagi birokrasi, karena tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas tata kelola dan koordinasi kerja.

Kekeliruan lain yang sering muncul adalah dominannya pendekatan administratif dibandingkan pendekatan strategis. Fokus pemerintah daerah masih terpusat pada pemenuhan formasi dan pelaksanaan seleksi, sementara aspek pasca-pengangkatan seperti pembinaan karier, pengembangan kompetensi, dan sistem penilaian kinerja belum menjadi prioritas. Padahal, esensi dari PPPK bukanlah pada status kontrak yang dimilikinya, melainkan pada kontribusi dan profesionalisme yang diharapkan lahir dari sistem berbasis kinerja. Jika hal-hal ini tidak dibenahi, maka kebijakan pengangkatan PPPK hanya akan menjadi proses administratif yang menghabiskan anggaran tanpa memberikan dampak nyata terhadap kualitas pelayanan publik dan efektivitas birokrasi.

Kuantitas Tidak Sama dengan Kualitas
Masalah utama bukan pada kebijakan pengangkatan PPPK itu sendiri, tetapi pada ketidaksiapan sistem manajemen ASN. Banyak daerah belum memiliki perencanaan beban kerja yang matang. Distribusi pegawai juga tidak merata seperti ada sekolah kelebihan guru di kota, tetapi kekurangan tenaga di pelosok.

Selain itu, sistem pembinaan dan evaluasi kinerja PPPK masih terbatas. Banyak yang sudah diangkat, tetapi belum mendapat arahan kerja yang jelas atau pelatihan yang relevan. Akibatnya, tambahan tenaga kerja malah membuat koordinasi makin rumit dan beban birokrasi bertambah.

Di sisi lain, lonjakan belanja pegawai menekan ruang fiskal pemerintah daerah. Jika porsi anggaran untuk gaji semakin besar, otomatis dana untuk program inovasi dan pembangunan akan menyusut. Kondisi ini berisiko menurunkan kemampuan daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan pelayanan publik yang lebih baik.

Membangun Efisiensi, Bukan Sekadar Menambah Pegawai

Pelajaran penting dari fenomena ini adalah bahwa birokrasi modern tidak diukur dari banyaknya pegawai, tetapi dari efektivitas sistemnya. Sama seperti pabrik yang tidak otomatis lebih efisien hanya karena menambah mesin, organisasi publik juga tidak otomatis lebih produktif hanya karena menambah pegawai.

Untuk itu, ada tiga langkah strategis yang perlu dilakukan pemerintah daerah agar pengangkatan PPPK benar-benar berdampak positif (1). Perencanaan berbasis analisis jabatan dan beban kerja. Rekrutmen PPPK harus disesuaikan dengan kebutuhan riil dan fungsi strategis pelayanan publik. (2). Penerapan sistem kinerja digital. Setiap PPPK perlu memiliki indikator kinerja yang jelas dan terukur, bukan sekadar hadir dan absen. (3). Pembinaan dan pelatihan berkelanjutan. PPPK harus terus dikembangkan agar menjadi aset kompeten, bukan sekadar tambahan administrasi.

Menatap Ke Depan
Perlu penulis tegaskan bahwa tulisan ini sama sekali bukan untuk mendegradasi atau mengeyampingkan atau tidak empati terhadap para PPPK. Justru sebaliknya, tulisan ini dimaksudkan sebagai refleksi agar setiap kebijakan pengangkatan dan penempatan PPPK dapat berjalan lebih efektif, adil, dan berorientasi pada kinerja nyata. PPPK adalah bagian penting dari kekuatan ASN Indonesia yang membawa semangat profesionalisme dan pembaruan birokrasi. Kritik terhadap sistem bukanlah kritik terhadap individu, melainkan ajakan agar potensi besar para PPPK tidak terhambat oleh struktur dan tata kelola yang kurang efisien. Dengan manajemen yang tepat, setiap PPPK dapat menjadi motor perubahan menuju birokrasi yang lebih modern, produktif, dan berdampak langsung bagi masyarakat.

Pengangkatan PPPK merupakan langkah penting dalam memperkuat birokrasi Indonesia. Namun, bila tidak diimbangi dengan tata kelola yang efisien, kebijakan ini justru bisa menghasilkan decreasing return to scale — di mana tambahan pegawai tidak lagi meningkatkan hasil, bahkan menurunkannya.

Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap pegawai baru membawa nilai tambah, bukan sekadar menambah angka dalam statistik ASN. Dengan perencanaan yang matang, pembinaan yang berkelanjutan, dan sistem kinerja yang akuntabel, PPPK dapat menjadi motor perubahan menuju birokrasi yang lebih profesional dan berdampak nyata bagi masyarakat.

Karena pada akhirnya, kekuatan birokrasi bukan diukur dari jumlah pegawainya, tetapi dari kemampuannya melayani dengan cerdas, efisien, dan berintegritas.