Ketika Anak-Anak Belajar Bicara dengan Mesin

Oleh: Nurhayati, S.Pd.Si
(Guru Informatika SMPN 3 Toboali)

Ketika anak-anak kita mulai mengetik perintah sederhana di layar komputer, mereka sesungguhnya sedang belajar berbicara dengan mesin bukan sekadar mengoperasikan alat, melainkan memahami cara berpikir logis serta sistematis. Inilah wajah baru pendidikan nasional yang mulai bergerak ke arah masa depan.

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah secara resmi menetapkan bahwa coding dan artificial intelligence (AI) akan menjadi bagian dari kurikulum sekolah mulai tahun ajaran 2025/2026, dimulai dari kelas 5 SD, kelas 7 SMP, hingga kelas 10 SMA. Langkah ini adalah bagian dari strategi besar pemerintah menyiapkan generasi muda menghadapi era digital global. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah mengingatkan bahwa pada tahun 2030, kemampuan dalam bidang coding dan AI akan menjadi salah satu keterampilan kunci yang menentukan daya saing sumber daya manusia Indonesia di pasar global.

Artinya, kurikulum baru ini bukan sekadar menambah pelajaran, tetapi membuka jendela bagi anak-anak Indonesia untuk menjadi pencipta teknologi, bukan sekadar pengguna.

Pergeseran dari kapur ke kode adalah simbol dari perubahan besar: dari belajar menghafal menuju belajar memecahkan masalah (problem solving) dan berpikir komputasional (computational thinking). Siswa tidak lagi sekadar menerima informasi, tetapi diajak mengonstruksi logika, kreativitas, dan inovasi.

Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang mewajibkan pemerintah menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia. Dengan demikian, teknologi menjadi sarana memperkuat karakter dan nilai kemanusiaan, bukan sebaliknya.

Tentu, setiap perubahan besar membawa tantangan. Tidak semua sekolah memiliki infrastruktur digital yang sama, dan tidak semua guru sudah terbiasa dengan bahasa teknologi. Namun justru di sinilah nilai gotong royong pendidikan diuji: pemerintah, daerah, dan masyarakat dapat berkolaborasi memperkuat kesiapan.

Banyak sekolah sudah memulai langkah kecil: membuat digital classroom, pelatihan guru, atau mengenalkan coding sederhana melalui permainan edukatif. Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa semangat adaptasi sudah tumbuh dari bawah.

Yang tak kalah penting adalah menjaga keseimbangan antara kecerdasan digital dan kecerdasan moral. Mengajar coding dan AI bukan hanya tentang algoritma, tapi juga tentang etika: bagaimana teknologi digunakan untuk kebaikan manusia. Anak-anak perlu belajar menghormati privasi, memahami tanggung jawab sosial digital, dan menggunakan teknologi secara bijak. Dengan demikian, pendidikan digital menjadi wahana pembentukan karakter, bukan sekadar kompetensi teknis.

Guru memiliki peran strategis sebagai “mentor berpikir”, bukan sekadar pengajar. Karena itu, dukungan negara melalui pelatihan, fasilitas, dan kebijakan afirmatif bagi guru menjadi kunci keberhasilan kurikulum ini. Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru adalah profesi yang memegang peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka harus menjadi garda depan dalam menuntun generasi yang mampu berpikir logis, kreatif, dan berakhlak.

Mungkin di masa depan anak-anak kita tidak lagi menulis surat kepada guru, tetapi menulis kode untuk dunia. Namun esensinya sama: mereka sedang belajar memahami kehidupan dengan cara yang baru. Ketika anak-anak belajar bicara dengan mesin, sejatinya mereka sedang belajar menjadi manusia yang lebih cerdas, beretika, dan berdaya cipta. Di situlah harapan pendidikan Indonesia menemukan bentuk barunya modern, adaptif, dan tetap berjiwa Pancasila.