Opini Publik
Sumber Oleh :
Irfandi Mustafa
(Pengurus Cabang, PMII Kota Ternate)
Senin 17 Februari 2020,- Persolaan perempuan cukup menarik untuk diperbincangkan,mulai dari urusan domestik sampai pada masalah yang berbaur komersial (industrialisasi).
Dalam dunia kapitalisme global perempuan selalu dijadikan sebagai objek tontonan alias hiburan,wanita mempunyai fungsi dominan sebagai pembentuk citra maupun tanda. Berbagai komoditi seperti umbrella girl, cover girl, atau model girl turut mewarnai dunia entertaiment kita, sebab menjadikan tubuh sebagai tontonan bagi sebagian perempuan merupakan jalan menuju popularitas, mengejar gaya hidup, dan untuk memenuhi kepuasan materil, tanpa menyadari sebetulnya telah dikonstruksi secara sosial untuk berada di dunia marjinal-dunia objek, dunia citra maupun sebagai komoditas ekonomi politik dari kepentingan neoliberal.
Sejarah tubuh wanita di dalam ekonomi politik kapitalisme adalah sejarah pemenjaraannya sebagai tanda atau fragmen-fragmen tanda. Kapitalisme membebaskan “tubuh wanita” dari tanda-tanda dan identitas tradisional seperti tabu, etiket, adat, moral dan spritual menjadikannya lebih liberatif lewat kekuatan media sebagai alat propaganda. Kemudian fungsi tubuh bergeser dari fungsi organis, biologis, reproduktif kearah fungsi ekonomi politik yang menjadikan tubuh sebagai komoditi ataupun mesin hasrat (ekonomi libido).
Tubuh kemudian menjadi bagian dari semiotika ekonomi neolib dengan memperjualbelikan tanda, makna dan hasratnya. Eufhoria neolib menemukan artikulasinya melalui jalur media. Beragam janji, fantasi, ilusi, halusinasi, kenyamanan, kesenangan, kegairahan, prestitise maupun sensualitas membaur dalam media. Kalaupun media menyampaikan berita bencana, kriminalitas, atau demonstrasi (lih.film cerita,dan berita) selalu direduksi menjadi tontonan atau hiburan.
Tubuh wanita yang dimuati dengan modal simbolik ketimbang sekedar modal biologis. Erotisassi tubuh wanita didalam media adalah mengambil fragmen-fragmen tubuh tersebut sebagai penanda dengan berbagai posisi dan pose serta dengan berbagai asumsi makna dan menaturalisasikan tubuhnya secara kultural sebagai obyek yang dipuja (sekaligus dilecehkan ?) karena dianggap mempunyai kekuatan pesona (ransangan).
Media menjadikan tubuh sebagai penanda yang dikaitkan dengan makna tertentu sesuai dengan tujuan ekonomi politik, seperti rambut yang indah eqivalen dengan shampo clear, pinggul yang sempurna sesuai dengan jean yang dikenakan, bibir yang sensualitas sesuai dengan sensualitas permen karet dan sebagainya.
Wanita kemudian diposisikan sebagai objek tanda dalam sistem tanda dalam sistem komunikasi untuk kepentingan kapitalisme. Bibir, mata, paha, betis, pinggul, perut, buah dada etc. hanya digunakan untuk menyampaikan makna tertentu yang disertai dengan aneka produk.
Artinya, gelora hasrat yang muncul dari fragmen-fragmen tubuh memiliki nilai komersial yang cukup mengairahkan dan menjajikan dalam mendatangkan keuntungan sehingga ekonomi politik ‘tanda’ kini menuju ekonomi politik hasrat. Eksploitasi tubuh wanita di dalam ekonomi hasrat sama bentuknya dengan eksploitasi kaum pekerja di dalam kapitalisme awal, dimana kelas pekerja dijadikan nilai tenaganya sesuai dengan nilai tukarnya. Maka wanita dieksploitasi melalui nilai tanda ‘nilai libido-nya’ equivalensi dengan nilai tukar komoditi. Dalam sistem kapitalisme sekarang ini ‘nilai’tubuh dikembangkan ke dua arah yaitu ; sebagai ‘nilai guna’ (erotika) dan ‘nilai tukar-jual’(tubuh sebagai tanda).
Padahal peran dominan tubuh wanita sebagai tanda dan citra media (iklan dan televisi) sebetulnya terdapat kontradiksi pokok, tubuh wanita digunakan dalam media sebagai penjual produk. Sementara, wanita itu sendiri mempunyai peran konsumsi (menonton TV, melihat iklan, berbelanja).artinya wanita lebih banyak mengkonsumsi citra dirinya sendiri kerimbang pria. Kondisi ini turut membentuk abnormalitas seksual dikalangan wanita .( waspadalah……! )