Ini Pendapat Tokoh dan Pemimpin Papua Soal Isu DOB diatas Tanah Papua

Liputan Jurnalis: Parlindungan Sidabutar

JAYAPURA– Sejumlah pemimpin Papua menanggapi rencana pemekaran Papua dan Papua Barat yang sudah mulai diwacanakan Jakarta sejak awal September 2020. Menurut Bupati Paniai, Mecky Nawipa (5/3), Pemekaran Papua bukan diminta oleh gubernur dan para bupati se-tanah Papua, tetapi, pemekaran yang sedang ditolak warga Papua dari Domberai, Bomberai, Mepago, Lapago dan Ha-Anim adalah murni tawaran Jakarta lewat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, Mahfud MD. Oleh karena itu rakyat jangan terprovokasi oleh media siluman yang hanya mau mengadu domba rakyat Papua.

Hal senada juga disampaikan Bupati Nabire, Mesak Magai, S.Sos M. Si. Magai mengatakan, pemekaran provinsi yang baru diwacanakan ini murni datang dari Jakarta. Gubernur dan para Bupati dipilih oleh rakyat – tidak pernah mengusulkan. Dengan demikian apapun aspirasi, kami siap sampaikan kepada pemerintah pusat. Keputusan ada di tangan pemerintah pusat.

Sketa Paitua Papua sedang bermain Pikon.

Tokoh politik Papua Tengah yang pernah mengusulkan pemekaran negara ini mengatakan, pemerintah pusat hingga saat ini belum menemukan solusi yang lebih manusiawi untuk menuntaskan masalah yang sering timbul diatas tanah Papua. Oleh sebab itu, Bupati Nabire meminta Pemerintah Pusat lebih arif dan bijaksana dalam menyikapi perkembangan sosial politik diatas tanah Papua.

Link beritanya dapat dibaca disini MESAK : DARIPADA DOB, KENAPA TIDAK PEMEKARAN NEGARA SEKALIAN – I Papua (jubi.co.id).

Wakil Bupati Dogiyai, Oskar Makai, hadir ditengah rakyat, menerima semua aspirasi, membentuk tim dan mengantar aspirasi ke Jayapura dan Jakarta. Berkali-kali, rakyat Dogiyai demo damai di lembah hijau Dogiyai, Oskar hadir ditengah rakyat menerima semua aspirasi dan mengantar semua aspirasi ke pemerintah provinsi dan pusat.

Jauh sebelumnya, mantan Bupati Nabire, Drs. A. P. Youw memilih judul skripsi S1 “Pemekaran, Pintu Kesejahteraan Bagi Semua”. Sejak dekade 1990, berkat skrispsi itu, telah memekarkan tanah menjadi sejumlah sejumlah kebupaten. Mulai dari pemekaran Paniai, Mulia, kemudian Dogiyai, Deiyai, Puncak, Tiom, Yahukimo, Yalimo, Tolikara, Pegunungan Bintang dan lain-lain dan lain-lain. Dalam skripsinya, AP Youw menulis, pemekaran dapat mensejahterahkan rakyat Papua dari keterpurukan sosial ekonomi. Hanya saja, tulis AP Youw, setelah tanah Papua dimekarkan rakyat Papua wajib menjaga kinerja Bupati masing-masing. Apakah dalam penerimaan pegawai memperhatikan putra asli? Penempatan jabatan, memberdayakan putra lokal? Setiap hari selalu buka kantor di ibu kota Kabupaten? Atau hanya sio-sio hambur-hambur dana di kota-kota besar.

AP Youw sekarang sudah menjadi orang tua, dalam sebuah wawancara dengan media lokal, dia hanya bahagia karena generasi Papua yang selama ini tidak diperhitungkan di kota-dikota sudah menjadi tokoh-tokoh pembangunan di daerah masing-masing. Dana beredar dimana-mana. Banyak bupati telah muncul, banyak anggota DPRD telah muncul bergantian, banyak pejabat, masyarakat kecil bisa terlayani, banyak anak didik bisa ditanggulangi pemerintah daerah dan lain seterusnya.

Keinginan besar bapak AP Youw sedikit banyak diwujudnyatakan oleh Bupati Paniai, Meky Nawipa. Dalam penerimaan CPNS tahun 2021/2022, Nawipa membuktikan penerimaan hanya berlaku bagi putra putri Paniai. Ada seorang anak Paniai bermarga Yeimo dipelihara oleh orang Key dan dia menggunakan marga orang tua piara, bupati langsung coret. Ini bukti nyata proteksi orang Papua diatas tanah Papua. Jadi prinsip Nawipa, seribu pemekaran boleh terjadi, asalkan Bupatinya utamakan putra Papua dalam penerimaan CPNS, pemerataan jabatan, pembagian proyek dan pemberdayaan lebih diutamakan putra pribumi.

Lukas Enembe di Jayapura dan sejumlah DPR Provinsi menegur berkali-kali agar para bupati di daerah dapat mengikuti keputusan provinsi untuk menolak pemekaran dalam bentuk apapun. Sejak 2013, sikap Enembe sudah jelas untuk menolak pemekaran provinsi. Oleh karena Gubernur Papua sudah menolak provinsi maka ketika DPP Golkar berkunjung ke Nabire untuk mengecek kelayakan rencana ibu kota provinsi Papua tengah, teguran keras datang dari mana-mana. Salah satunya dari senator Laurens Kadepa. Ruang pertemuan di hotel Mahavira pun sempit dan beberapa wartawan dan anggota DPRD Dogiyai yang terlambat datang sempat bersitegang dengan petugas keamanan.

Jauh sebelumnya di Jakarta, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, Mahfud MD mengatakan (11/09/2020), pemerintah bakal menambah tiga wilayah baru di Papua sehingga kedepan terdapat lima provinsi. Rencana pemekaran itu diungkapkan Mahfud MD seusai menggelar rapat bersama Ketua MPR Bambang Soesatyo, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, serta perwakilan TNI-Polri di Gedung MPR/DPR RI, Jakarta, Jumat (11/09/2020).

“Revisi juga akan dilakukan, atau penegasan terhadap pasal 76 tentang pemekaran daerah Papua yang rencananya dimekarkan menjadi 5, ditambah 3 dari yang ada sekarang. Karena itu adalah amanat dari undang-undang nomor 21 tahun 2001,” ujar Mahfud kepada wartawan.

Ide pemekaran dihidupkan ketika 61 orang Papua diundang Presiden Joko Widodo ke Istana Negara pada September 2019 lalu. Saleh Sangadji, salah satu dari 61 orang yang diundang presiden itu, pemekaran wilayah Papua Selatan penting untuk mendekatkan masyarakat wilayah itu dengan birokrasi.
Sebulan setelah kedatangan 61 orang Papua, tepatnya pada 29 Oktober 2019, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebutkan ada dua aspirasi yang masuk untuk pemekaran wilayah Papua, yakni di kawasan Papua Selatan dan Papua Pegunungan. Menurutnya, dari kedua kawasan itu, yang sudah siap menjadi provinsi baru adalah Papua Selatan.

“Pemerintah pusat kemungkinan mengakomodir hanya penambahan dua provinsi. Ini yang sedang kami jajaki. Yang jelas, Papua Selatan sudah oke,” kata Tito kepada wartawan di Jakarta, 29 Oktober 2019.

Yowel Luiz Mulait, Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua di Media Kompas (12/03/22) menulis, Pemerintah memberlakukan moratorium pemekaran daerah baru, tetapi ini tidak berlaku di Papua. Pemekaran daerah Papua memerlukan proses yang demokratis, sesuai aspirasi yang ”genuine” masyarakat asli Papua.

Meskipun maksudnya meningkatkan akses masyarakat pada layanan pemerintah dan bertujuan menyejahterakan masyarakat wilayah tersebut, sebuah kebijakan pemekaran wilayah atau pembentukan daerah otonomi baru (DOB) bisa berakhir dengan masalah.

Baru-baru ini wacana pemekaran provinsi mengemuka. Setidaknya sembilan provinsi baru disebut-sebut akan terbentuk dari pemekaran wilayah, dari mulai Tangerang Raya, Bogor Raya, Cirebon, Banyumasan, Daerah Istimewa Surakarta, Jawa Utara, Madura, Mataraman atau Jawa Selatan, sampai dengan Blambangan.

Menanggapi wacana itu, pemerintah pusat menjawab secara jelas dan tegas. Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benny Irwan mengatakan tidak ada rencana untuk pemekaran wilayah provinsi atau pembentukan DOB (Kompas, 16/2/2022). Beberapa tahun lalu Wakil Presiden Ma’ruf Amin juga lebih tegas menjelaskan bahwa pemerintah masih melanjutkan kebijakan moratorium atas usul pemekaran daerah baru (Kompas, 3/12/2020).

Alasan pemerintah pusat masuk akal. Data menunjukkan sudah ada 223 DOB yang terbentuk sejak penerapan otonomi daerah pada tahun 1999 sampai 2014. Pendapatan asli daerah (PAD) yang diperoleh DOB masih tergolong rendah. Kondisi keuangan negara saat ini belum dapat menopang kebutuhan operasional pemerintahan DOB. Fiskal nasional sedang diarahkan pada penanganan pandemi. Belum lagi prioritas strategis seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

Singkatnya, dengan alasan-alasan tersebut maka pemerintah pusat meniadakan rencana-rencana pemekaran wilayah atau pembentukan DOB.

*Moratorium bukan untuk Papua*

Tidak seperti menyikapi wacana pemekaran wilayah provinsi lainnya, pemerintah pusat tidak menegaskan berlakunya moratorium tersebut untuk Provinsi Papua. Justru yang sebaliknya terlihat adalah pemerintah pusat ingin mendorong pembentukan provinsi-provinsi baru di Papua.

Indikasinya beragam. Terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua pada Juli 2021 jelas mengamanatkan pembentukan daerah baru di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Tidak seperti menyikapi wacana pemekaran wilayah provinsi lainnya, pemerintah pusat tidak menegaskan berlakunya moratorium tersebut untuk Provinsi Papua.

Tidak tanggung-tanggung, pemerintah pusat kemudian berencana menerbitkan empat rancangan undang-undang (RUU) yang mengatur pemekaran DOB di Papua, yakni RUU Provinsi Papua Pegunungan Tengah, RUU tentang Provinsi Papua Tengah, RUU Papua Barat Daya, dan RUU Provinsi Papua Selatan.

Lalu pada 28 Januari 2022, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD memastikan rencana pemekaran Papua akan terus berjalan. ”Orang boleh tidak setuju, boleh setuju, tetapi yang jelas itu sudah berdasarkan pertimbangan yang matang,” kata Mahfud.

Pada Februari lalu, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga melakukan kunjungan kerja dalam rangka menginventarisasi materi dan usulan pemekaran pasca-perubahan UU Otsus Papua. Selain menemui Pemerintah Provinsi Papua, DPD juga menemui pejabat lainnya, termasuk Kapolda Papua Irjen Mathius D Fakhiri.

Berbeda dengan alasan menolak pemekaran provinsi lain, dalam pemekaran provinsi baru Papua pemerintah beralasan tentang pentingnya pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua (OAP).

Menurut pemerintah, rencana pemekaran telah memperhatikan aspek-aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua.

Dari perkembangan ini, kebijakan pemerintah pusat untuk moratorium pemekaran provinsi ternyata tidak berlaku untuk Papua. Alasan yang dipakai untuk menolak pemekaran provinsi lain juga tidak berlaku untuk Papua.

Alih-alih menyerap aspirasi otonomi Papua dari bawah tentang perlu tidaknya pemekaran wilayah tingkat kabupaten dan kota (bottom up approach), pemerintah pusat justru memakai pendekatan kebijakan dari atas untuk membentuk provinsi baru (top down approach).

*Inkonsistensi otonomi Papua*

Pemerintah pusat boleh saja mengklaim telah memiliki pertimbangan yang matang. Bahkan, jika klaim itu benar, pemerintah tetap tidak boleh begitu saja melakukan perubahan UU Otonomi Khusus untuk Papua. Apalagi, membentuk DOB di Provinsi Papua yang sebelumnya pernah menjadi dua provinsi tanpa proses yang sesuai semangat otonomi dalam peraturan perundang-undangan.
Bagaimana pun juga konflik Jakarta dan Papua yang diselesaikan dengan pemberian otonomi pada tahun 2001 dimaksudkan agar tata kelola pemerintahan yang semula terpusat berpindah dan menyebar ke wilayah. Otonomi juga diberikan untuk menjawab tuntutan kemerdekaan Papua yang berakar dari sejarah marjinalisasi dan pengalaman ketidakadilan sosial ekonomi yang dialami OAP di masa lalu.

Dengan otonomi diharapkan tidak ada lagi agenda-agenda politik yang dibuat sepihak oleh pusat untuk dilaksanakan oleh wilayah. Pemekaran provinsi pun demikian. Ia memerlukan proses yang demokratis. Tanpa itu maka pasti memunculkan pertanyaan. Sekadar menyebut contoh, Sekretaris Daerah Provinsi Papua Muhammad Ridwan Rumasukun mengkritik rencana pemekaran Provinsi Papua yang disampaikan delegasi DPD saat berkunjung ke Papua baru-baru ini (Abadkini, 14/2/2022).

”Pemekaran Provinsi Papua ini ide siapa di pusat? Jangan adu domba kami warga Papua dengan isu pemekaran daerah. Kami menolak pemekaran provinsi. Rakyat Papua setuju dengan pemekaran kabupaten dan kota. Dulu sudah pernah kami ajukan 29 DOB pemekaran kabupaten/kota. Sebaiknya pusat fokus saja pada 29 DOB kabupaten/kota yang pernah kami ajukan,” kata Ridwan seperti dikutip Abadkini.

Komisi I DPD Fahrul Razi akhirnya mengakui usulan pemekaran wilayah dengan membentuk provinsi baru di Papua ternyata bukan aspirasi yang genuine masyarakat asli Papua.

Kritik ini mengejutkan rombongan DPD yang tampaknya semula mengira pemekaran provinsi adalah sesuatu yang akan didukung pemerintah daerah. Usai kunjungan kerja, Ketua Komisi I DPD Fahrul Razi akhirnya mengakui usulan pemekaran wilayah dengan membentuk provinsi baru di Papua ternyata bukan aspirasi yang genuine masyarakat asli Papua (Antara, 18/2/2022). Ia kemudian menyarankan pemerintah untuk mempertimbangkan ulang rencana tersebut atau membatasi pemekaran wilayah pada tingkat kabupaten/kota.

Saya jadi teringat sebuah kajian yang diterbitkan oleh Kemitraan/Pokja Papua (2003) yang menyoroti pemekaran wilayah Provinsi Papua melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003. Kajian itu membenarkan perlunya pemekaran wilayah demi mengembangkan layanan pemerintahan. Namun, pembentukan DOB yang dilakukan tanpa menunggu terbentuknya Majelis Rakyat Papua (MRP) memicu konflik-konflik di Papua yang berdampak pada pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat Papua. Hal seperti ini tidak boleh terulang lagi.

*Partisipasi dan konsultasi OAP*

Seperti saya katakan, tak ada yang salah dengan wacana pemekaran provinsi. Tetapi saat wacana itu mau dijadikan kebijakan, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan usulan rakyat Papua melalui DPRP dan MRP.

MRP adalah representasi kultural OAP yang diberikan berbagai wewenang memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap berbagai hal. Dari mulai bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan DPRP, calon anggota MPR utusan daerah yang diusulkan DPRP, rancangan perdasus yang diajukan DPRP bersama-sama gubernur, hingga perjanjian kerja sama pemerintah dengan pihak ketiga yang berlaku di Papua yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua.

Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan usulan rakyat Papua melalui DPRP dan MRP.

Pemerintah harus sungguh-sungguh mempertimbangkan usulan rakyat Papua melalui masing-masing MRP. Pasal 77 UU Otsus 2001 menyatakan, ”Usul perubahan atas undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Setidaknya pemerintah harus bersama-sama MRP ‘memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang” (Pasal 76 UU Otsus).

MRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang terpilih oleh anggota masyarakat adat, masyarakat agama, dan masyarakat perempuan. Sejarah perumusan persetujuan MRP dalam pemekaran provinsi dimaksudkan untuk menjamin perlindungan dan pemajuan hak-hak OAP.

MRP bertugas memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak OAP, termasuk memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya dan memberikan pertimbangan kepada pemerintahan daerah mengenai hal-hal yang terkait perlindungan hak-hak OAP.

Sayangnya, hal tersebut kurang dipertimbangkan. Amendemen kedua UU Otsus menghapuskan syarat persetujuan MRP dalam pemekaran wilayah, yang semula dijamin Pasal 76 UU Otsus Tahun 2021: ”Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP….” Setelah terbit UU No 2/2021 ketentuan itu diubah dengan klausul ”dapat” sehingga syarat wajib itu hilang. Bagi saya, perubahan ini jelas melemahkan semangat otonomi.

Indonesia adalah negara yang telah menjalani demokratisasi. Demokratisasi artinya desentralisasi pemerintahan melalui otonomi. Untuk Papua, otonomi itu bersifat khusus alias istimewa. Namun, apalah artinya keistimewaan itu jika akhirnya orang Papua tidak dilibatkan dalam partisipasi dan konsultasi yang bermakna. (ist)