Penulis: Yusuf (Ketua Umum HMI Cabang Bangka Belitung)
Wacana yang mencuat dari Kepala Desa se-Indonesia tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) mendorang adanya kebijakan-kebijakan yang mendukung agar pemerintah desa menjadi lebih baik. Salah satunya melalui revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Namun, menjadi perhatian khusus dari tuntutan pasal 39 UU No. 6 Tahun 2014 tentang satu periode masa jabatan 6 tahun dan dapat menjabat 3 (tiga) kali masa jabatan baik secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. dengan tuntutan perubahan menjadi 9 tahun dalam satu periode masa jabatan sebagai kepala desa, pada pekan lalu tanggal 17 Januari 2023 di Jakarta.
Argumentasi dari Kepala Desa masa jabatan 6 tahun tidak cukup waktu dalam pembangunan, pasalnya 2 tahun pertam biasanya digunakan untuk menyelesaikan konflik, 2 tahun berikutnya persiapan Pilkades mendatang, sehingga kerja efektif kepala desa hanya 2 tahun. Dengan adanya perpanjangan masa jabatan tersebut salah satunya agar pembangunan desa lebih efektif dan tidak terpengaruh oleh dinamika politik desa menyebabkan polarisasi akibat Pilkades.
Bahwa masalah polarisasi sosial pasca pemilihan kepala desa dijadikan alasan utama untuk perpanjangan masa jabatan, tentu itu bentuk mengada-ngada dan membuka tabir ketidak mampuan seorang elit kepala desa dalam mengelolah pemerintahannya. Jika logika itu yang digunakan, bagaimana dengan polarisasi sosial pasca Pilpres/Pilkada/Pileg tentu cakupannya lebih luas di bandingkan Pilkades. Buakankah masyarakat desa lebih dimanis dalam menyikapi persolan sosial, karena nilai-nilai keberagaman, kebersamaan dan gotong royong masih begitu kuat terhadap sesama warga desa meskipun berbeda pilihan dalam Pilkades.
Dalam sistem negara demokrasi pembatasan masa jabatan menjadi keharusan untuk menghindari adanya sikap otoriter, diktaktor, penyalahgunaan kekuasaan, dan regenerasi kepemimpinan kades yang macet. Menurut pendapat Prof Cheryl Akademisi Afrika Selatan menegaskan bahwa kekuasaan yang dominan dan tidak dibatasi dapat berpotensi mengikis demokrasi dan mengarah pada otoritarianisme. Dengan adanya pembatasan kekuasaan, dapat mendorang adanya kontestasi ide dan gagasan guna melahirkan kembali tokoh dan calon pemimpin baru muda visioner. Dengan begitu demokrasi dapat terus dirawat dengan efektif dan segera dievaluasi apabila terdapat kekurangan.
Menurut penulis yang harus menjadi poit utama dalam melakukan revisi UU No. 6 Tahun 2014 bagai mana kemudia mengatur sestematis dan efektifitas pembangunan maupun SDM elit desa dalam menuju modernisasi desa sabagi pilar kemajuan suatu Negara. Yaitu pertama melalui peningkatan kualitas dan fasilitas pendidikan di desa, karena pendidikan berperan sangat penting regenasi kepemimpinan dan kemajuan desa. Kedua menghidupkan istrumen peran dan fungsi BUMDes dalam mewujudkan kemandirian ekonomi desa sehingga dapat meningkatkan kesejahtraan masyarakat. Ketiga sistem elit pemerintahan desa sebagai kepegawaian dengan memperjelas setatusnya sehingga fokus dan lokus pembangunan desa tertata rapih.
Menjadi sangat keliru bahkan kesalahan berjamaah dalam konsep berpikir jika ide dan gagasan hanya terfokuskan dalam perpanjangan masa jabatan kelapa desa menjadi 9 Tahan periodesasi yang begitu sensitif bagi telinga masyarakat. Menurut ICW kasus korupsi dana desa terhitung sejak tahun 2012 hingga 2021 dari 601 desa terdapat 686 kepala desa dan pegawai desa terjerat korupsi. Ini harus menjadi perhatian khusus dan pembahasan kajian secara mendalam untuk pemerintah dalam hal ini adalah Presiden dan DPR RI.