Mengenal Sosok Pemilik Starbucks, dari Loper Koran hingga Raksasa Kopi Global..

Laporan Redaksi : Bams 90

Dengan latar belakang ekonomi yang kurang beruntung dan penolakan dari berbagai investor, pemilik Starbucks, Howard Schultz, membuktikan bahwa ia bisa membangun bisnis kedai kopi terbesar di dunia.

Dalam beberapa waktu terakhir, nama Starbucks menjadi sorotan tajam di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Ini tidak lepas dari meningkatnya ketegangan konflik Israel-Palestina, yang membuat banyak pihak menyerukan boikot terhadap brand-brand global, termasuk Starbucks, karena dituding memiliki keterkaitan dengan dukungan terhadap Israel.

Selain itu, Starbucks juga cukup banyak dibicarakan di media sosial berkat promosi yang diberikan oleh salah satu bank digital, yang mana pengguna dapat membeli produk Starbucks dengan harga sekitar Rp9.000 saja.

Namun di balik kontroversi yang ada, kisah Starbucks sebagai waralaba kopi besar dunia tidak bisa dipisahkan dari sosok pemiliknya.

Howard Schultz adalah pemilik Starbucks, seorang pengusaha kopi keturunan Yahudi yang mengubah kedai kopi kecil di Seattle menjadi jaringan global dengan puluhan ribu gerai di seluruh dunia.

Ia lahir pada tahun 1953 di Brooklyn, New York, tepatnya di lingkungan perumahan pekerja Canarsie, yang kala itu dikenal sebagai kawasan kelas bawah.

Ayahnya, Fred Schultz, adalah seorang mantan tentara yang kemudian bekerja sebagai sopir truk pengangkut, tanpa jaminan kerja ataupun asuransi kesehatan.

Salah satu titik balik yang membentuk pandangan hidup Schultz terjadi saat ayahnya mengalami kecelakaan kerja.

Karena tidak memiliki perlindungan kesehatan, sang ayah tidak bisa mendapatkan perawatan yang layak.

Selain merasakan bagaimana kondisi ekonomi keluarganya yang perlahan mulai menurun, Howard Schultz juga menyaksikan langsung rapuhnya jaminan sosial di Amerika Serikat.

Hal ini membuat  Howard harus bekerja sejak usia 12 tahun, menjadi loper koran, pelayan kafe, hingga penjaga toko, demi membantu kebutuhan keluarganya.

Meskipun hidup pas-pasan, Howard Schultz dikenal sebagai remaja pekerja keras.

Ia menonjol dalam bidang olahraga, khususnya American Football, yang membawanya mendapat beasiswa atletik ke Northern Michigan University.

Howard Schultz kuliah di jurusan komunikasi, dan menjadi orang pertama dalam keluarganya yang berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi.

Setelah lulus pada tahun 1975, ia memulai karier di Xerox Corporation, perusahaan teknologi yang waktu itu sangat bergengsi.

Di sana Howard Schultz mendapat program pelatihan sales yang sangat ketat dan kompetitif.

Pengalaman ini menjadi fondasi penting dalam kemampuannya menjual ide dan membangun relasi bisnis.

Kemudian, Schultz pindah ke Hammarplast, perusahaan Swedia yang memasarkan produk peralatan rumah tangga.

Di sinilah, dalam salah satu kunjungan kerja, Howard Schultz mengenal sebuah kedai kopi kecil di Seattle bernama Starbucks yang saat itu baru memiliki sekitar 4 gerai.

Singkat cerita, pada tahun 1982, Howard Schultz resmi bergabung dengan Starbucks sebagai kepala pemasaran.

Keputusannya untuk bergabung dengan Starbucks terbilang cukup nekat, ia memiliki tekad untuk pindah ke Seattle.

Meski berhasil pindah ke kota yang ia inginkan, namun gaji yang Howard dapatkan nilainya kurang dari separuh penghasilan di pekerjaan sebelumnya.

Namun, bagi Schultz, ini bukan tentang uang.

Ia melihat peluang dan kekuatan tersembunyi dari brand Starbucks, yang saat itu hanya menjual biji kopi premium dan peralatan penyeduhnya, bukan kopi siap minum.

Pada tahun 1983, Schultz pergi ke Milan, Italia. Di sanalah ia melihat kultur “coffee bar” yang begitu hidup.

Orang-orang berdiri dan bercengkerama sambil menikmati espresso, yang menjadikan kedai kopi tersebut sebagai ruang sosial, bukan sekadar tempat transaksi.

Ketika ide ini ia bawa ke manajemen Starbucks, ia malah ditolak.

Pendiri Starbucks saat itu merasa ide menjual kopi siap minum terlalu jauh dari prinsip awal mereka sebagai toko biji kopi.

Meski idenya ditolak, namun Howard Schultz tidak  menyerah. Ia memutuskan untuk keluar dari Starbucks dan pada tahun 1985 mendirikan kedai kopi sendiri bernama Il Giornale, yang terinspirasi dari nama koran di Italia.

Dengan visi menjadikan kopi sebagai bagian dari pengalaman sosial, ia berhasil menarik pelanggan.

Namun, perjuangan membangun Il Giornale tidak mudah. Howard Schultz harus menghadapi penolakan sebanyak 217 dari 242 investor yang ia temui.

Beruntung, ia akhirnya berhasil menghimpun dana sebesar US$1.7 juta dan membuka kedai pertamanya di Seattle.

Il Giornale sukses besar, dan dua tahun kemudian datang kesempatan emas.

Pada tahun 1987, para pemilik awal Starbucks memutuskan untuk menjual bisnis mereka seharga US$4 juta, termasuk nama brand dan seluruh asetnya.

Howard Schultz langsung bergerak cepat menggalang dana untuk membeli Starbucks melalui Il Giornale.

Dengan latar belakang ekonomi yang kurang beruntung dan penolakan dari berbagai investor, pemilik Starbucks, Howard Schultz, membuktikan bahwa ia bisa membangun bisnis kedai kopi terbesar di dunia.

Dalam beberapa waktu terakhir, nama Starbucks menjadi sorotan tajam di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Ini tidak lepas dari meningkatnya ketegangan konflik Israel-Palestina, yang membuat banyak pihak menyerukan boikot terhadap brand-brand global, termasuk Starbucks, karena dituding memiliki keterkaitan dengan dukungan terhadap Israel.

Selain itu, Starbucks juga cukup banyak dibicarakan di media sosial berkat promosi yang diberikan oleh salah satu bank digital, yang mana pengguna dapat membeli produk Starbucks dengan harga sekitar Rp9.000 saja.

Namun di balik kontroversi yang ada, kisah Starbucks sebagai waralaba kopi besar dunia tidak bisa dipisahkan dari sosok pemiliknya.

Siapa Pemilik Starbucks?

Howard Schultz adalah pemilik Starbucks, seorang pengusaha kopi keturunan Yahudi yang mengubah kedai kopi kecil di Seattle menjadi jaringan global dengan puluhan ribu gerai di seluruh dunia.

Ia lahir pada tahun 1953 di Brooklyn, New York, tepatnya di lingkungan perumahan pekerja Canarsie, yang kala itu dikenal sebagai kawasan kelas bawah.

Ayahnya, Fred Schultz, adalah seorang mantan tentara yang kemudian bekerja sebagai sopir truk pengangkut, tanpa jaminan kerja ataupun asuransi kesehatan.

Salah satu titik balik yang membentuk pandangan hidup Schultz terjadi saat ayahnya mengalami kecelakaan kerja.

Karena tidak memiliki perlindungan kesehatan, sang ayah tidak bisa mendapatkan perawatan yang layak.

Selain merasakan bagaimana kondisi ekonomi keluarganya yang perlahan mulai menurun, Howard Schultz juga menyaksikan langsung rapuhnya jaminan sosial di Amerika Serikat.

Hal ini membuat Howard harus bekerja sejak usia 12 tahun, menjadi loper koran, pelayan kafe, hingga penjaga toko, demi membantu kebutuhan keluarganya.

Profil dan Perjalanan Bisnis Starbucks

Tampilan toko asli Starbucks di Seattle (Foto: starbucks)

Meskipun hidup pas-pasan, Howard Schultz dikenal sebagai remaja pekerja keras.

Ia menonjol dalam bidang olahraga, khususnya American Football, yang membawanya mendapat beasiswa atletik ke Northern Michigan University.

Howard Schultz kuliah di jurusan komunikasi, dan menjadi orang pertama dalam keluarganya yang berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi.

Setelah lulus pada tahun 1975, ia memulai karier di Xerox Corporation, perusahaan teknologi yang waktu itu sangat bergengsi.

Di sana Howard Schultz mendapat program pelatihan sales yang sangat ketat dan kompetitif.

Pengalaman ini menjadi fondasi penting dalam kemampuannya menjual ide dan membangun relasi bisnis.

Kemudian, Schultz pindah ke Hammarplast, perusahaan Swedia yang memasarkan produk peralatan rumah tangga.

Di sinilah, dalam salah satu kunjungan kerja, Howard Schultz mengenal sebuah kedai kopi kecil di Seattle bernama Starbucks yang saat itu baru memiliki sekitar 4 gerai.

Singkat cerita, pada tahun 1982, Howard Schultz resmi bergabung dengan Starbucks sebagai kepala pemasaran.

Keputusannya untuk bergabung dengan Starbucks terbilang cukup nekat, ia memiliki tekad untuk pindah ke Seattle.

Meski berhasil pindah ke kota yang ia inginkan, namun gaji yang Howard dapatkan nilainya kurang dari separuh penghasilan di pekerjaan sebelumnya.

Namun, bagi Schultz, ini bukan tentang uang.

Ia melihat peluang dan kekuatan tersembunyi dari brand Starbucks, yang saat itu hanya menjual biji kopi premium dan peralatan penyeduhnya, bukan kopi siap minum.

Pada tahun 1983, Schultz pergi ke Milan, Italia. Di sanalah ia melihat kultur “coffee bar” yang begitu hidup.

Orang-orang berdiri dan bercengkerama sambil menikmati espresso, yang menjadikan kedai kopi tersebut sebagai ruang sosial, bukan sekadar tempat transaksi.

Ketika ide ini ia bawa ke manajemen Starbucks, ia malah ditolak.

Pendiri Starbucks saat itu merasa ide menjual kopi siap minum terlalu jauh dari prinsip awal mereka sebagai toko biji kopi.

Meski idenya ditolak, namun Howard Schultz tidak menyerah. Ia memutuskan untuk keluar dari Starbucks dan pada tahun 1985 mendirikan kedai kopi sendiri bernama Il Giornale, yang terinspirasi dari nama koran di Italia.

Dengan visi menjadikan kopi sebagai bagian dari pengalaman sosial, ia berhasil menarik pelanggan.

Namun, perjuangan membangun Il Giornale tidak mudah. Howard Schultz harus menghadapi penolakan sebanyak 217 dari 242 investor yang ia temui.

Beruntung, ia akhirnya berhasil menghimpun dana sebesar US$1.7 juta dan membuka kedai pertamanya di Seattle.

Il Giornale sukses besar, dan dua tahun kemudian datang kesempatan emas.

Pada tahun 1987, para pemilik awal Starbucks memutuskan untuk menjual bisnis mereka seharga US$4 juta, termasuk nama brand dan seluruh asetnya.

Howard Schultz langsung bergerak cepat menggalang dana untuk membeli Starbucks melalui Il Giornale.

Menariknya, salah satu pendukung awal pembelian ini adalah ayah dari Bill Gates, William H. Gates Sr., yang membantu meyakinkan investor untuk mendukung Schultz.

Setelah akuisisi, Il Giornale digabungkan ke dalam Starbucks, dan Schultz menjadi CEO dari Starbucks.

Setelah memiliki Starbucks, Howard Schultz tidak hanya menjual kopi. Ia menjual pengalaman.

Starbucks diubah menjadi tempat “ketiga” bagi masyarakat perkotaan menjadi tempat selain rumah dan kantor untuk bersantai, berbincang, atau bekerja.

Tahun 1992, Starbucks melantai di bursa saham (IPO) dengan 165 gerai dan pendapatan US$93 juta.

Sejak saat itu, pertumbuhan Starbucks sangat cepat. Pada tahun 2000, mereka sudah memiliki ribuan gerai di berbagai negara, dan pada 2023, jumlahnya mencapai lebih dari 33.000 gerai di lebih dari 80 negara.

Pemilik Starbucks di Indonesia

Di Indonesia, Starbucks hadir sejak 17 Mei 2002 melalui kemitraan dengan PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI).

Operasional Starbucks dikelola oleh anak usahanya, PT Sari Coffee Indonesia.

MAPI sendiri merupakan perusahaan ritel besar yang juga memegang lisensi banyak merek internasional.

Pada tahun 2016, MAPI membentuk MAP Boga Adiperkasa (MAPB) untuk mengelola semua unit makanan dan minuman, termasuk Starbucks, Pizza Marzano, Cold Stone, dan Krispy Kreme.

MAPB juga mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia, dan saat ini menjadi salah satu operator food & beverage terbesar di Indonesia.

Perjalanan Starbucks Indonesia tidak lepas dari peran Anthony Cottan, pria asal Portsmouth, Inggris, yang sudah bergabung dengan MAPI sejak tahun 2001.

Anthony Cottan lulusan Southdowns Hotel School dan meraih gelar MBA dari Oxford Brookes University pada tahun 2015.

Cottan dikenal sebagai pemimpin yang membangun ekspansi ritel makanan MAPI dari awal.

Berkat manajemennya, Starbucks Indonesia berhasil menjadi brand dominan dalam industri kopi ritel di Indonesia.

Berikut adalah ekspansi dan inovasi yang dilakukan Starbucks Indonesia:

  • 2005: Starbucks membuka gerai drive-thru pertama di Asia Tenggara di rest area KM 19 Tol Cikampek.
  • 2010: Starbucks memiliki 90 gerai di Indonesia.
  • 2017: Starbucks membuka gerai ke-300 di Bandara Ngurah Rai, Bali.
  • 2023: Starbucks telah memiliki lebih dari 581 gerai yang tersebar di 59 kota besar di seluruh Indonesia (data: cafely).

Mereka juga meluncurkan konsep Starbucks Reserve, yaitu gerai premium dengan desain dan menu eksklusif yang bisa Anda temukan di kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Bali.

( red.sbr.inilah).