By : Luthfi Amrusi, S.H. S.Pd. Gr
(Guru MTs Nurul Iman Air Banten)
Belum lama ini, dunia menyaksikan sebuah tonggak diplomasi baru ketika Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 12 September 2025 mengesahkan Deklarasi New York, yang mendukung solusi dua negara antara Palestina dan Israel. Resolusi ini yang juga mengakui kemerdekaan Palestina didukung oleh 142 negara, sementara 10 menolak dan 12 abstain.
Di sisi lain, di dalam negeri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui program Sekolah/ Madrasah Damai menekankan pentingnya penanaman nilai-nilai perdamaian di lingkungan Sekolah /Madrasah sebagai upaya membangun budaya toleran, antikekerasan, dan melawan intoleransi serta bullying.
Kedua peristiwa di atas skala global dan lokal sebagai sinergi ideal untuk dijadikan refleksi bahwa Sekolah/ Madrasah tidak sekadar tempat belajar akademik, tetapi sebagai laboratorium perdamaian. Di situlah generasi muda dibentuk, dibekali, dan diarahkan supaya menjadi warga dunia yang mampu hidup rukun, adil, dan saling menghormati.
Deklarasi New York bukan hanya teks diplomatik jauh dari kehidupan siswa. Ia mencerminkan ekspektasi dunia bahwa konflik yang panjang dan sengketa yang rumit bisa dan harus diselesaikan melalui dialog, penghormatan terhadap hak asasi, dan keadilan. Itu adalah pesan bahwa perdamaian bukan ilusi bahkan jika rintangannya besar.
Sementara itu, dalam realitas Sekolah/Madrasah kita di Indonesia, ada tantangan internal seperti perundungan (bullying), intoleransi antar etnis atau agama, serta ketidakpekaan terhadap perbedaan. Program seperti Sekolah/Madrasah Damai memberikan kerangka konkret: menguatkan mental siswa, memperluas wawasan spiritual dan sosial, dan menumbuhkan sikap bahwa setiap manusia apapun latar belakangnya layak dihormati.
Agar Sekolah/Madrasah benar-benar bisa menjadi “laboratorium perdamaian”, beberapa unsur harus berada dalam sinergi dan diperkuat:
1. Kurikum Pembelajaran Nilai
Pelajaran PPKn, Pendidikan Agama, dan mata pelajaran lain harus memasukkan modul-modul tentang toleransi, konflik, resolusi damai, martabat manusia dan kemanusiaan. Siswa perlu memahami bahwa di dunia yang kompleks, solusi banyak konflik tidak hanya lewat kekuasaan, melainkan lewat pengertian, dialog, dan penghormatan.
2. Sikap dan Teladan Guru & Kepala Sekolah/Madrasah Guru bukan hanya pengajar akademik, tapi juga pendidik karakter. Teladannya dalam menghargai perbedaan (agama, suku, latar belakang ekonomi) sangat memengaruhi kultur Sekolah/Madrasah. Kepala Sekolah/ Madrasah mesti menjamin ruang aman bagi siswa berbicara dan mengekspresikan diri tanpa takut diskriminasi atau kekerasan.
3. Pengelolaan Konflik Sekolah/Madrasah Sekolah/Madrasah harus memiliki mekanisme pengaduan bullying, kekerasan verbal, atau diskriminasi. Pelatihan guru dan konselor untuk mendeteksi tanda-tanda konflik atau ketidaknyamanan di antara siswa sangat penting. Intervensi cepat dan mediasi antar siswa bisa menjadi bagian dari pembelajaran nyata akan perdamaian.
4. Partisipasi Siswa Siswa harus diberi ruang aktif baik dalam organisasi siswa, kegiatan lintas agama, kelompok diskusi, seni, atau kegiatan budaya untuk belajar bekerja sama, menghormati perbedaan, dan menyuarakan aspirasi mereka. Ini membangun empati, rasa tanggung jawab, dan solidaritas.
5. Keterlibatan Orang Tua dan Komunitas Nilai perdamaian dan toleransi tidak berhenti di pagar Sekolah/Madrasah. Orang tua, tokoh agama, pemuka adat, dan komunitas lokal harus dilibatkan supaya pesan Sekolah/Madrasah diperkuat di rumah dan di lingkungan sekitar.
Sebagai negara kepulauan yang kaya keberagaman, Indonesia punya kekuatan unik. Keragaman suku, agama, adat istiadat, serta pengalaman hubungan antar komunitas menjadikan wilayah ideal untuk melihat bagaimana perdamaian bisa dijaga atau mudah retak.
Media Nasional maupun lokal seperti memiliki peran strategis: mendukung penyebaran narasi perdamaian, melaporkan cerita-cerita positif kerukunan, dan menyorot contoh nyata Sekolah/Madrasah yang berhasil menjadi laboratorium perdamaian.
Dengan begitu siswa-siswa kita tumbuh tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga matang secara moral dan sosial. Sekolah/Madrasah bukan sekadar gedung dengan meja dan papan tulis, melainkan tempat di mana masa depan perdamaian diuji, dibentuk, dan disemai. Ketika siswa belajar bahwa resolusi konflik secara damai itu mungkin seperti yang dilakukan oleh komunitas internasional melalui Deklarasi New York dan ketika mereka merasakan penerapan nilai toleransi, penghormatan, dialog, di lingkungan Sekolah/Madrasahnya sendiri, maka perdamaian bukanlah ide abstrak.
Di momen Hari Perdamaian Dunia ini, mari jadikan Sekolah/Madrasah di Indonesia sebagai laboratorium perdamaian: tempat di mana ide tumbuh, sikap terbentuk, dan generasi muda berani menjadi agen perdamaian sejati.