Etika Siaran, Martabat Ulama, dan Tanggung Jawab Negara

Oleh: Luthfi Amrusi, S.H., S.Pd.Gr (Mahasiswa Magister Hukum Universitas Pertiba & Wakil Sekretaris PCNU Basel 2020-2025)

Belakangan ini, perhatian publik tertuju pada tayangan sebuah program televisi nasional yang menyinggung kehidupan pesantren dan para kiai. Potongan narasi yang beredar menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, terlebih bagi keluarga besar pesantren yang selama ini dikenal sebagai penjaga nilai dan moral bangsa.

Reaksi yang muncul bukan semata karena perasaan tersinggung, melainkan karena ada sesuatu yang lebih dalam: rasa khawatir bahwa ruang publik kita mulai kehilangan rasa hormat terhadap hal-hal yang selama ini dianggap luhur. Pesantren, yang sejatinya menjadi pusat pendidikan akhlak dan kebijaksanaan, seakan direduksi hanya menjadi bahan hiburan.

Adab Sebelum Ilmu: Falsafah yang Teruji Zaman Dalam khazanah pendidikan Islam, ada ungkapan yang amat masyhur: al-adabu fauqal ‘ilmi adab berada di atas ilmu. Ungkapan ini bukan sekadar kata mutiara, tetapi landasan filosofis yang hidup di setiap pesantren di Nusantara.

Penelitian Ferihana dan Rahmatullah (2023) di Pesantren Hamalatul Qur’an Yogyakarta menunjukkan bahwa pembentukan adab santri sangat bergantung pada keteladanan guru. Nilai-nilai luhur itu tidak ditanamkan melalui perintah, melainkan melalui perilaku nyata: bagaimana seorang kyai berbicara, berjalan, bahkan diam dengan penuh makna.

Hal serupa disampaikan Kamaludin dkk. (2023) yang menegaskan bahwa adab bukan sekadar pelengkap pendidikan, tetapi fondasi utama pembentukan karakter. Dari sinilah lahir santri yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berjiwa lembut, hormat kepada guru, dan bijak dalam bertutur.

Jika di pesantren adab ditempatkan di atas ilmu, maka sudah seharusnya di dunia penyiaran, etika diletakkan di atas rating. Karena sejatinya, tontonan publik adalah bentuk “pengajaran” juga hanya saja medianya berbeda.

Ketika Etika Siaran Diuji
Televisi merupakan salah satu instrumen pendidikan sosial yang sangat kuat. Ia dapat menuntun masyarakat pada kebaikan, tetapi juga bisa menyesatkan jika kehilangan empati.

Kasus yang menimpa Trans7 dan Lirboyo menjadi pelajaran berharga bahwa kebebasan berekspresi tetap harus berjalan berdampingan dengan tanggung jawab moral.

Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, Pasal 5, sudah dengan tegas menyatakan bahwa pers wajib menghormati norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat. Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI juga menegaskan hal serupa: lembaga penyiaran wajib menjaga martabat agama, budaya, dan nilai sosial.

Oleh sebab itu, permintaan maaf yang disampaikan pihak stasiun televisi patut diapresiasi, namun evaluasi mendalam tetap diperlukan agar kepercayaan publik dapat pulih. Sebab, luka moral tidak bisa dihapus dengan pernyataan singkat ia perlu perbaikan yang berkelanjutan.

Martabat Ulama dan Tanggung Jawab Sosial Ulama dan kyai adalah penjaga warisan moral bangsa. Mereka mendidik dengan kesabaran, memberi contoh dengan laku hidup, dan menjadi tempat bertanya bagi masyarakat yang mencari arah kebenaran.

Penelitian Ijfina dan Darnoto (2024) tentang fenomena su’ul adab di kalangan santri menyimpulkan bahwa adab yang lemah sering kali bukan karena kurangnya pengetahuan, melainkan karena lingkungan yang kurang menumbuhkan rasa hormat.
Hal ini berlaku juga bagi ruang publik kita. Jika media terus menayangkan konten yang mengikis rasa hormat terhadap tokoh dan nilai luhur, maka sesungguhnya kita sedang menanam benih ketidaksantunan dalam kehidupan berbangsa.

Negara dan Akhlak Informasi
Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa setiap kebebasan memiliki batas yakni kewajiban untuk menghormati hak dan martabat orang lain.

Maka, negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan agar kebebasan informasi tidak menjelma menjadi kebebasan yang menyakiti.
Penelitian Muin (2025) tentang manajemen karakter di pesantren menunjukkan bahwa pembinaan moral hanya akan berhasil jika ada sistem yang konsisten: keteladanan, pengawasan, dan lingkungan yang mendukung. Prinsip ini bisa diadaptasi oleh negara dalam mengatur dunia penyiaran: membangun sistem yang tidak hanya menindak pelanggaran, tetapi juga mendidik pelaku media agar lebih peka terhadap nilai-nilai luhur bangsa.

Bangsa Indonesia dibangun di atas adab, bukan hanya kecerdasan. Kita boleh berbeda pendapat, tetapi tidak boleh kehilangan rasa hormat. Media boleh kritis, tetapi tidak boleh kehilangan nurani. Negara boleh bebas, tetapi tidak boleh abai terhadap martabatnya sendiri.

Sebagaimana pesantren mengajarkan adab sebelum ilmu, demikian pula seharusnya dunia penyiaran belajar untuk menjaga etika sebelum bicara. Sebab pada akhirnya, bangsa yang besar bukan diukur dari seberapa banyak ilmunya, tetapi dari seberapa dalam ia menghormati nilai-nilai kemanusiaan di dalamnya.