Jurnalis : Rohena
JAKARTA , Di satu sisi jalan, ribuan pengemudi ojek online berjuang menembus kemacetan, berpacu dengan algoritma dan rating pelanggan.
Di sisi lain, sopir angkot dan bus konvensional menanti penumpang yang kian berkurang, terdesak oleh inovasi digital yang tak lagi bisa mereka kejar.27/10/2025
Keduanya hidup dari setir, namun hanya satu yang kini menjadi pusat perhatian pemerintah ketika Presiden Prabowo Subianto menyiapkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Perlindungan Pengemudi Ojek Online (Ojol).
Namun, di balik gemuruh kabar gembira itu, muncul pertanyaan mendasar
Apakah negara akan benar-benar hadir melindungi semua pengemudi digital dan konvensional atau hanya sebagian yang terlihat di layar aplikasi?
*Latar Hukum dan Krisis Perlindungan*
Transportasi berbasis aplikasi adalah keniscayaan zaman. Tetapi, sejak kemunculannya, sektor ini berjalan dalam kekosongan hukum.
Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) belum mengenal istilah “angkutan daring.”
Akibatnya, para pengemudi ojol berada di antara dua rezim hukum yang saling tumpang tindih
* Bukan pekerja tetap yang dilindungi UU Ketenagakerjaan,
* Bukan pengemudi angkutan umum resmi sebagaimana diatur dalam Pasal 139–144 UU LLAJ.
Situasi ini menciptakan anomali hukum pengemudi ojol dianggap mitra, tetapi menanggung semua risiko dari kecelakaan hingga pemutusan akun sepihak tanpa mekanisme hukum yang pasti.
*Isi Pokok Perpres Ojol Harapan Baru di Jalan Raya*
Menurut informasi yang beredar, Perpres Ojol akan memuat beberapa ketentuan penting:
1. Perlindungan hubungan kemitraan antara pengemudi dan aplikator agar tidak ada eksploitasi ekonomi.
2. Pengaturan tarif dan transparansi pendapatan, dengan memperhatikan biaya operasional serta kesejahteraan pengemudi.
3. Kewajiban jaminan sosial dan asuransi kecelakaan, termasuk kemungkinan integrasi dengan BPJS.
4. Kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa digital.
Langkah ini merupakan bentuk tanggung jawab negara dalam melindungi jutaan pekerja transportasi digital. Namun, dari perspektif hukum transportasi, Perpres ini juga harus selaras dengan asas-asas keselamatan dan tanggung jawab angkutan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 47, dan Pasal 48 UU LLAJ.
Sebab, ojek online pada dasarnya juga angkutan orang yang beroperasi di ruang publik dan menanggung risiko lalu lintas yang sama dengan kendaraan umum lainnya.
*Keadilan untuk Pengemudi Konvensional*
Ketika negara menyiapkan payung hukum untuk ojol, jangan sampai pengemudi konvensional dibiarkan kehujanan di luar sistem.
Mereka sopir bus, angkot, dan taksi telah lebih dulu hidup dalam ketentuan hukum yang ketat
* Kendaraan mereka wajib uji berkala (uji KIR) sesuai Pasal 53 UU LLAJ dan PP No. 55 Tahun 2012.
* Perusahaan angkutan wajib memiliki Sistem Manajemen Keselamatan (SMKPAU) sebagaimana PM No. 85 Tahun 2018.
* Setiap pengemudi wajib memiliki SIM Umum, serta dilindungi oleh asuransi Jasa Raharja bila terjadi kecelakaan.
Namun ironisnya, sistem yang lebih disiplin justru kini menjadi kelompok yang paling terpinggirkan secara ekonomi.
Tarif mereka diatur, izin mereka diawasi, tapi perlindungan sosial mereka kian rapuh karena kalah saing dengan transportasi digital yang beroperasi tanpa batas.
*Perspektif Advokat LLAJ Perlindungan Harus Menyeluruh*
Dari sudut pandang hukum transportasi, kebijakan perlindungan pengemudi tidak boleh bersifat sektoral.
Negara harus memastikan kesetaraan hukum bagi semua profesi pengemudi, karena mereka sama-sama mengemban fungsi publik mengangkut manusia dan menjaga keselamatan di jalan raya.
Dalam perspektif Advokat LLAJ, ada empat prinsip hukum yang harus melekat pada setiap kebijakan transportasi, termasuk Perpres Ojol
1. Prinsip Keselamatan (Safety First)
* Setiap kendaraan dan pengemudi yang digunakan untuk kepentingan publik wajib memenuhi standar laik jalan dan uji berkala.
* Pengemudi ojol pun harus mendapatkan pelatihan keselamatan dasar, bukan hanya orientasi aplikasi.
2. Prinsip Tanggung Jawab Korporasi (Corporate Liability)
Aplikator digital bukan sekadar penyedia teknologi, melainkan penyelenggara sistem transportasi yang wajib memikul tanggung jawab hukum atas mitranya.
3. Prinsip Keadilan Sosial bagi Pengemudi
Negara harus menata sistem tarif, asuransi, dan jaminan sosial agar pengemudi tidak menjadi pihak paling lemah dalam rantai ekonomi digital.
4. Prinsip Keadilan Antar Moda (Mode Equity)
Kebijakan untuk ojol tidak boleh merugikan pengemudi konvensional. Integrasi, bukan diskriminasi, harus menjadi arah kebijakan transportasi nasional.
*Hukum Sebagai Pelindung, Bukan Sekadar Pengatur*
Perpres Ojol hanyalah satu batu pijakan kecil dalam reformasi besar transportasi darat Indonesia.
Namun keberhasilan regulasi ini akan ditentukan oleh keberanian negara untuk menegakkan prinsip keselamatan dan keadilan profesi, bukan sekadar memuaskan euforia teknologi.
Sebab, di balik setiap helm hijau atau sopir angkot yang berpeluh, ada nyawa manusia yang bertaruh di jalan raya yang sama di bawah tanggung jawab hukum yang sama pula.
*Closing Statement Keadilan di Antara Setir dan Jalan*
Perlindungan pengemudi tidak boleh berhenti pada layar ponsel. Ia harus hidup dalam kebijakan, dijalankan di lapangan, dan ditegakkan di pengadilan bila perlu.
Karena tanpa perlindungan hukum yang setara, keadilan di jalan raya akan terus menjadi kemewahan bagi sebagian kecil, dan mimpi bagi sebagian besar.
” _Negara tidak boleh menilai pengemudi dari jenis aplikasinya, tetapi dari pengorbanannya. Sebab mereka semua, digital maupun konvensional, adalah penjaga kehidupan di jalan raya.”_
sumber : Eddy Suzendi SH Advokat LLAJ
Tagline Keselam fatan& Keadilan
Kontak : 08122497769
email : espadv01@ gmail.com
Websit :www.esplawfirm.my.id*
