Fonara, Cinta dari Adonara dalam Setiap Tetes Minyak Kelapa

Laporan Redaksi : Bams

ENDE – Siapa sangka dari sebuah desa di pelosok Nusa Tenggara Timur, muncul merek lokal bernama Fonara yang tak hanya memproduksi minyak kelapa berkualitas ekspor, tapi juga menyampaikan kisah cinta pada tanah kelahiran, Adonara.

Kisah Fonara bermula di penghujung tahun 2020, ketika Rahman Tukan Hanafi mulai mengurus izin usaha yang berfokus pada pengolahan kelapa. Nama “Fonara” adalah akronim dari “Flores Adonara”, sebuah identitas yang dengan bangga diusung Rahman untuk menunjukkan bahwa produk ini lahir dari tanah sendiri.

“Inspirasinya datang dari Bimoli, yang ternyata kepanjangannya adalah Bitung Manado Oil Limited. Lalu kami pikir, kenapa tidak bikin juga brand dari daerah kami?” kata Rahman saat berbincang di program Mozaik Indonesia, Senin (5/5/2025) lalu.

Namun perjalanan membangun merek lokal tak selalu mulus. Awalnya Fonara dinamai Donara, plesetan dari “Adonara” dan terinspirasi dari brand internasional seperti Danone. Tapi sebelum sempat mendaftarkan merek itu secara resmi, nama Donara sudah lebih dulu didaftarkan pihak lain ke HAKI. Akhirnya, mereka membangun kembali dari awal dan lahirlah Fonara.

Keputusan menjadikan kelapa sebagai produk utama bukan tanpa alasan. “Kelapa itu tanaman ajaib,” ujar Rahman. “Dari akar sampai daun semua bisa dimanfaatkan.”

Dari kelapa, Fonara mengolah berbagai produk bernilai jual tinggi. Mulai dari Virgin Coconut Oil (VCO) dengan metode sentrifus standar ekspor, minyak goreng bening, sabun cuci piring, hingga sabun cuci tangan. Mereka juga memproduksi arang yang dipasok hingga ke Surabaya dan beberapa daerah di Flores Timur.

Tak hanya itu, ampas kelapa yang tersisa juga tidak dibuang. Warga sekitar, khususnya umat Kristiani, kerap datang membawa karung untuk mengambil ampas yang digunakan sebagai pakan ternak, terutama babi.

“Meski saya Muslim, saya bersyukur produk ini bisa memberdayakan semua umat,” ucap Rahman. “Itulah indahnya NTT

Fonara juga ingin membuktikan bahwa kelapa tak sekadar jadi kopra murah yang dibawa ke Surabaya. “Semua bahan dasar kosmetik itu sebenarnya dari minyak kelapa,” ujar Rahman. Bahkan serabut kelapa yang kerap dianggap sampah, ternyata menjadi bahan utama untuk jok mobil mewah seperti BMW dan Mercedes. Sayangnya, potensi itu belum tergarap maksimal di daerah sendiri.

Namun memberdayakan masyarakat tidak semudah membalikkan telapak tangan. Mentalitas karyawan lebih dominan ketimbang jiwa wirausaha. Rahman mengisahkan bagaimana saat pertama memulai, teman-temannya berharap langsung mendapat hasil dalam hitungan minggu. Ia pun akhirnya mempekerjakan mereka agar tetap bisa terlibat dalam produksi sambil pelan-pelan membangun kedisiplinan.

Kini Fonara memiliki tujuh karyawan tetap dan terus melibatkan petani kelapa setempat. Pasar terbesar justru datang dari luar NTT, termasuk Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, bahkan beberapa apotek dan rumah oleh-oleh telah menjadi mitra penjualan mereka.

Meski perjalanan masih panjang, Rahman tetap optimistis. “Tantangan terbesarnya pasar dan konsistensi bahan baku,” ujarnya. Ia berharap semakin banyak petani yang sadar bahwa kelapa bukan sekadar komoditas murah, melainkan sumber kehidupan yang jika diolah serius, bisa mengangkat ekonomi masyarakat.

Fonara adalah contoh bahwa inovasi dan cinta pada daerah bisa melahirkan gerakan ekonomi dari akar rumput. “Ini rezeki luar biasa dari NTT,” kata Rahman. Dan dari Fonara, Adonara bicara: kami punya potensi besar, asal mau mengolahnya.(sbr)