Laporan Redaksi
Penindakan tegas dan pencegahan korupsi harus terus dilakukan untuk mengembalikan keuangan negara. Untuk memaksimalkannya, percepatan perubahan tata kelola, manajemen, dan sistem harus terus diupayakan.
JAKARTA, Penindakan tegas dan pencegahan korupsi harus terus dilakukan untuk mengembalikan keuangan negara. Untuk memaksimalkannya, percepatan perubahan tata kelola, manajemen, dan sistem harus terus diupayakan.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo menyampaikan, penindakan tegas dan pencegahan yang menghasilkan penyelamatan keuangan negara sudah dilakukan. Percepatan perubahan tata kelola, manajemen, dan sistem pun sudah dan akan terus dijalankan.
”Dalam hal penindakan, langkah tegas tanpa pandang bulu harus dan wajib tetap dilaksanakan. Pencegahan juga harus dilakukan lebih masif dan lebih menyasar sektor-sektor strategis,” ujar Agus di Jakarta, Jumat (16/8/2019).
Jumlah uang negara yang diselamatkan KPK dengan pencegahan korupsi lebih besar dibandingkan dengan uang yang dirampas dalam penindakan. Nilainya bahkan mencapai triliunan rupiah. Namun, untuk angka pastinya, Agus mengatakan akan disampaikan nanti.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch, jumlah kerugian negara atas 454 kasus korupsi pada 2018 sebesar Rp 5,6 triliun. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp 6,5 triliun untuk 576 kasus.
Agus menyampaikan pandangannya dalam rangka menanggapi pidato Presiden Joko Widodo dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Dalam pidatonya, Presiden Jokowi menyebut dua kali kata korupsi.
Pertama, Presiden Jokowi menyampaikan, korupsi harus dicegah tanpa mengganggu keberanian berinovasi. Pemanfaatan teknologi dapat lebih dioptimalkan untuk membuat yang rumit menjadi sederhana.
Jumlah uang negara yang diselamatkan KPK dengan pencegahan korupsi lebih besar dibandingkan dengan uang yang dirampas dalam dalam penindakan. Nilainya bahkan mencapai triliunan rupiah.
Kedua, ukuran kinerja para penegak hukum dan hak asasi manusia (HAM) juga harus diubah, termasuk kinerja pemberantasan korupsi. Penegakan hukum yang keras harus didukung. Penegakan HAM yang tegas harus diapresiasi. Akan tetapi, keberhasilan para penegak hukum bukan hanya diukur dari berapa kasus yang diangkat dan bukan hanya berapa orang dipenjarakan.
”Harus juga diukur dari berapa potensi pelanggaran hukum dan pelanggaran HAM bisa dicegah, berapa potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan. Ini perlu kita garis bawahi. Oleh sebab itu, manajemen tata kelola dan sistemlah yang harus dibangun,” ujar Presiden Jokowi.
Sementara itu, Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan, Presiden Jokowi terbatas memuji Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang terlibat dalam beberapa keanggotaan internasional yang artifisial. Namun, tidak menyajikan bagaimana desain BPK dan visi Jokowi yang kontributif dalam pemajuan pencegahan korupsi.
Selain itu, Presiden Jokowi juga tidak menyampaikan visi progresif pemajuan HAM termasuk bagaimana memastikan bangsa ini merdeka dari sejarah kelam pelanggaran HAM masa lalu. Meski demikian, pada dimensi hak ekonomi, sosial, dan budaya bobot perhatian Jokowi lebih dominan.
Intoleransi tantangan bangsa
Sementara dalam pidato Presiden Jokowi di depan sidang bersama DPD dan DPR yang juga dilaksanakan hari ini, disampaikan bahwa dalam bidang pertahanan-keamanan Indonesia juga harus tanggap dan siap menghadapi perang siber, intoleransi, radikalisme, dan terorisme serta ancaman kejahatan-kejahatan lainnya baik dari dalam maupun luar negeri yang mengancam persatuan dan kesatuan.
“Indonesia tidak takut terhadap keterbukaan. Kita hadapi keterbukaan dengan kewaspadaan. Kewaspadaan terhadap ideologi lain yang mengancam ideologi bangsa. Kewaspadaan terhadap adab dan budaya lain yang tidak sesuai dengan kearifan bangsa kita. Kewaspadaan terhadap apapun yang mengancam kedaulatan kita,” ujar Presiden Jokowi.
Hendardi mengatakan, pada isu intoleransi, radikalisme, dan terorisme Presiden Jokowi menyampaikannya dalam satu deretan kata. Hal ini dinilai sebagai ancaman nyata kemajuan bangsa menuju Indonesia maju dan unggul.
”Penyebutan tiga tantangan itu secara berurutan menggambarkan afirmasi kepemimpinan Jokowi bahwa intoleransi adalah hulu dari terorisme dan terorisme adalah puncak intoleransi. Pengenalan Jokowi pada tantangan intoleransi, radikalisme, dan terorisme kemudian dijawab dengan pentingnya penguatan ideologi bangsa, yaitu Pancasila,” ujarnya.
Dalam studi Setara Institute, ancaman terhadap negara Pancasila adalah nyata adanya. Hendardi menyampaikan, upaya mengatasi tantangan intoleransi dan radikalisme adalah dengan pembudayaan Pancasila yang menuntut lompatan kreatif dalam pembinaan dan pembudayaannya.
Visi negara Pancasila harus menjadi utama dalam pemerintahan Jokowi, terutama dalam bentuk keteladanan elite, pembentukan kebijakan, dan penanganan kelompok intoleran-radikal, khususnya dalam kerangka demokratis yang menghargai HAM.
”Presiden Jokowi tidak boleh membiarkan kebijakan kontraproduktif, represif, dan indoktrinatif yang mengatasnamakan pembelaan ideologi Pancasila. Dalam jangka pendek, komitmen pada penghapusan intoleransi-radikalisme haruslah menjadi variabel penentu dalam memilih menteri-menteri kabinet baru, termasuk memilih pejabat-pejabat kunci di pemerintahan yang akan mengelola sumber daya ekonomi dan pembangunan manusia,” kata Hendardi. (sumber)