Peradin: Polemik Kewenangan Polisi dan Jaksa Ganggu Integritas Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Laporan Jurnalis : Gus Wedha

Jakarta – PosBeritaNasional.com |Ketua Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), Firman Wijaya mengatakan kewenangan pelaksanaan sistem peradilan pidana di Indonesia antara Polisi dan Jaksa masih menuai polemik yang berdampak terhadap tidak efektifnya proses penyelidikan dan penyidikan perkara.

Polemik kewenangan ini, khususnya antara Jaksa dan Polisi, tentunya sangat menggangung integritas sistem peradilan pidana mengingat kedua sub-sistem itu merupakan bagian dari sistem peradilan pidana itu sendiri, yang seharusnya memerlukan persamaan di dalam mencapai tujuan bersama,” kata Firman saat mengisi materi di kegiatan Kelompok Kerja Analisis dan Evaluasi Hukum Acara Pidana: Penyidikan dan Penyelidikan, Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jumat (23/9).

Firman lalu menjelaskan konsep penyelidikan dan penyidikan yang menjadi isu sentral dalam proses peradilan pidana di Indonesia.

Ia mengatakan, Berdasarkan Pasal 1 angka 5 KUHAP, Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

“Sedangkan, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya, sebagaimana mengacu pada Pasal 1 angka 2 KUHAP,” terangnya.

Ia lebih lanjut menerangkan bahwa dalam sistem peradilan di Indonesia terdapat lima jenis peradilan yakni, Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Tipikor.

Dalam upaya pelaksanaan sistem peradilan di Indonesia, kata dia, mengacu pada analisis awal yang telah dilakukan oleh Pokja, ditemukan beberapa permasalahan.

“Pertama, mengenai besarnya diskresi penyidik dalam melakukan penahanan; kedua, tidak diaturnya secara rinci mengenai rentang waktu proses penyelidikan dan penyidikan dalam KUHAP; ketiga, mengenai restorative justice dalam tahap penyelidikan dan penyidikan; keempat, dalam konteks penyelidikan dan penyidikan serta kaitannya dengan proses penuntutan, sekalipun KUHAP tidak menerapkan fungsi penuntut umum sebagai Dominus Litis secara maksimal, Kejaksaan tetap diberi porsi terbatas untuk melakukan pengawasan secara horizontal,” ujar Firman.

Reaksi yang timbul atas akibat hal ini, menurut dia, misalnya polemik kewenangan penyidikan, akan menimbulkan dampak kembali pada sub-sistem awal. Pada akhirnya, polemik semacam ini akan membawa ketidakjelasan mana yang merupakan sebab (awal) dan mana yang akibat (reaksi).

“Apabila sejak awal sudah timbul polemik, meskipun hanya soal kewenangan penyidikan saja, maka sulit tercapai suatu Integrated Criminal Justice System,” ungkapnya.

Sementara, Sekretaris Jenderal Peradin, Hendrik meminta agar penyelidikan seharusnya dilebur menjadi bagian penyidikan saja, karena hakekatnya menurut dia, penyelidikan hanya dapat dilakukan dalam rangka penyidikan.

“Harus terdapat tahapan yang memungkinkan untuk “mengeksaminasi” laporan hasil pelaksanaan tindakan penyelidikan, sehingga suatu perkara dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan. Dalam praktek hukum (good practices), hal ini dikenal dengan proses “gelar perkara” atau “ekspose”, sekalipun tidak dapat ditemukan dasarnya dalam KUHAP,” beber Hendrik.

“Namun demikian, kesemua hal itu dalam prakteknya justru membuat proses penyelidikan itu bertele-tele, memakan waktu lama, dan telah sangat jauh memasuki wilayah penyidikan,” tambahnya.

Di samping itu, ia juga mendorong agar perlu pengaturan baru tentang tentang dimulainya penyidikan dari Penyidik kepada Jaksa sebagai pemegang kekuasaan Penuntutan (dominus litis), baik secara formal (SPDP) maupun informal.

“Selama ini kerapkali penyidikan dan penuntutan dipandang sebagai proses yang berada dalam tahapan yang berbeda, sehingga kerapkali ditandai bolak baliknya berkas perkara dari penyidik kepada penuntut umum, serta sebaliknya, pra penuntutan,” jelas Hendrik.

Ia lalu menyinggung terakit di konsep diferensiasi fungsional penegakan hukum yang sejatinya bukan dilakukan dengan memandang adanya subsistem yang berbeda antara penyidikan dan penuntutan (diferensiasi fungsional), tetapi lebih kepada diferensiasi peran.

“Sejak awal Jaksa selaku pemegang kekuasaan penuntutan telah terlibat dalam mengarahkan, mengawasi, dan mengendalikan penyidikan, sehingga terjadi efektivitas penegakan hukum. Dalam pelaksanaan penegakan hukum, Jaksa berposisi sebagai leading sector, sehingga dapat dikatakan penyidik sub ordinated dari Jaksa,” tandasnya.