Laporan Redaksi
JAKARTA, – Tiga undang-undang pemekaran Provinsi Papua yang baru disahkan pada 25 Juli 2022 silam, diuji secara formil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tiga undang-undang dimaksud yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2022 Tentang Pembentukan Papua Selatan (UU Papua Selatan), Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2022 Tentang Pembentukan Papua Tengah (UU Papua Tengah), dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2022 Tentang Pembentukan Papua Pegunungan (UU Papua Pegunungan). Permohonan yang diregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 92/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh E. Ramos Patege.
Sidang perdana untuk perkara ini digelar pada Rabu (28/9/2022) di Ruang Sidang Pleno MK secara daring. Akan tetapi, Ramos tidak hadir dalam persidangan. Hal ini dipastikan oleh Ketua Panel Hakim Aswanto dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Aswanto mengungkapkan, Kepaniteraan telah menghubungi Pemohon. Namun, hingga saat persidangan ini digelar, baik Pemohon maupun kuasa hukumnya tidak hadir.
“Para Pihak telah dipanggil secara patut. Namun, sampai sekarang para Pemohon tidak hadir. Maka, sidang ini dinyatakan selesai dan ditutup,” kata Aswanto.
Pemohon dalam permohonannya yang diajukan ke MK mendalilkan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural Orang Asli Papua (OAP) sudah sewajarnya dan seharusnya dilibatkan dalam pembentukan ketiga UU tersebut. Karena perihal pemerintah ingin melakukan perubahan atau suatu pembangunan di suatu daerah tentu diperlukan kajian maupun pendapat dari masyarakat lokal.
Pada April 2022 lalu, Ketua MRP menyatakan terdapat 4 (empat) alasan MRP meminta penangguhan RUU tentang Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Provinsi Papua Pegunungan. Salah satu alasannya karena pembentukan Daerah Otonomi Baru tersebut dilakukan dengan pendekatan atas ke bawah yang sentralistik. Tentu penggunaan pendekatan atas ke bawah adalah sama saja menghilangkan partisipasi masyarakat yang terkena dampak langsung dari pembentukan ketiga UU. Untuk itu, dalam petitum Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan ketiga UU pemekaran Provinsi Papua tersebut bertentangan dengan UUD 1945. (humas MKRI)