Penulis : Nurhayati,SKM.,M.Kes
Penduduk lansia di negara berkembang pada tahun 2013 sebanyak 554 juta jiwa dari 7200 juta jiwa penduduk dunia. Jumlah ini akan meningkat pada tahu 2050, yakni menjadi sekitar 1600 juta jiwa dari 9600 juta jiwa penduduk dunia (Kemkes, 2014). Indonesia termasuk dalam 5 besar negara dengan jumlah lansia terbanyak di dunia. Pada tahun 2014 jumlah penduduk lansia di Indonesia sebanyak 18.781 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun 2025 jumlahnya kaan mencapai 36 juta jiwa (Kemkes, 2015).
Berdasarkan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2011, pada tahun 2000-2005 Umur Harapan Hidup (UHH) yakni 66,4 tahun (dengan persentase populasi lansia tahun 2000 yakni 7,74%), angka ini meningkat pada tahun 2045-2050 yang UHH menjadi 77,6 tahun (dengan persentase populasi lansia tahun 2045 yakni 28,68%). Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) terjadi peningkatan umur harapan hidup. Pada tahun 2000 umur harapan hidup di Indonesia yakni 64,5 tahun (dengan persentase populasi lansia yakni 7,18%). Angka ini meningkat menjadi 69,43 tahun pada tahun 2010 (dengan persentase populasi lansia yakni 7,56%) dan pada tahun 2011 menjadi 69,65 tahun (dengan persentase lansia yakni 7,58%) (Kemenkes RI, 2012).
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa penduduk lanjut usia di Indonesia pada tahun 2000 sebanyak 14.439.967 jiwa (7,18%), selanjutnya pada tahun 2010 meningkat menjadi 23.992.553 jiwa (9,77%). Pada tahun 2020 diprediksikan jumlah lanjut usia mencapai 28.822.879 jiwa (11,34%) (BPS, 2009 dalam Kusumaningrum, 2014). Meningkatnya jumlah penduduk suatu Negara maka menyebabkan terjadinya perubahan struktur penduduk Negara tersebut. Perubahan struktur penduduk tersebut dapat mempengaruhi angka beban ketergantungan, terutama bagi penduduk lansia. Perubahan ini menyebabkan angka ketergantungan lansia menjadi meningkat. Rasio ketergantungan penduduk tua (old depencency ratio) adalah angka yang menunjukkan tingkat ketergantungan penduduk tua terhadap penduduk usia produktif, angka tersebut merupakan perbandingan antara jumlah penduduk tua (60 tahun keatas) dengan jumlah penduduk produktif (15-59 tahun).
Angka ini menunjukkan besarnya beban ekonomi yang harus ditanggung penduduk produktif untuk membiayai penduduk tua (Kemenkes RI, 2012).
Setelah seseorang memasuki masa lansia umumnya akan dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda (multiple pathology) misalnya tenaga berkurang, energi menurun, kulit makin keriput, tulang makin rapuh, penglihatan memburuk, dan gerakan lambat. Hal ini menyebabkan ketergantungan lansia (old depency) sehingga dapat meningkatkan ketergantungan dan memerlukan bantuan orang lain untuk melakukan aktivitas sehari-sehari (Nugroho W, 2013).
Secara individu, lansia akan mengalami penurunan kemampuan aktivitas sehari-hari seperti makan, mandi, berpakaian, berpindah tempat, mengontrol BAB dan BAK, toileting, mobilisasi, menaiki/ menuruni tangga. Karena perubahan fisik yang dialami lansia sehingga mengalami ketergatungan untuk memerlukan bantuan orang lain (Quinn et al, 2016).
Memasuki usia tua, secara kejiwaan individu berpotensi mengalami perubahan sifat seperti: bersifat kaku dalam berbagai hal, kehilangan minat, tidak memiliki keinginan-keinginan tertentu maupun kegemaran yang sebelumnya pernah ada (Tamher, S, 2013). Masalah psikologis juga mempengaruhi kehidupan lansia diantaranya kesepian, keterasingan dari lingkungan, kurang percaya diri, keterlantaran terutama bagi lansia yang miskin serta kurangnya dukungan dari anggota keluarga, keadaan fisik lemah, dan tak berdaya, sehingga harus bergantung pada orang lain (Maryam dkk, 2014).
Kemenkes RI (2014) menyatakan hasil data SUSENAS menunjukkan bahwa angka rasio ketergantungan penduduk lansia pada tahun 2014 adalah sebesar 11,90%, angka ini menunjukkan bahwa setiap 100 orang penduduk usia produktif harus menanggung sekitar 12 orang penduduk lansia. Namun bila dibandingkan per jenis kelamin, angka rasio ketergantungan penduduk lansia perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk lansia laki-laki (12,95% berbanding 10,86%).
Pesatnya jumlah lansia juga terjadi di Bangka Belitung. Pada tahun 2013 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung jumlah lansia sebanyak 78.809 orang. Pada tahun 2014 mengalami peningkatan yaitu 83.011 orang lansia.
Pada tahun 2015 mengalami peningkatan yaitu 84.825 orang lansia (BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, 2016). Peningkatan skala ketergantungan pada lansia akan mengakibatkan peningkatan beban keluarga, masyarakat, dan pemerintah, terutama terhadap kebutuhan layanan khusus yaitu kondisi kesehatan lansia yang juga akan menimbulkan beban sosial yang tinggi karena pertumbuhan lansia akan terus meningkat (Komisi Lanjut Usia, 2016). Pengkajian aktivitas sehari-hari penting untuk mengetahui tingkat ketergantungan lansia, untuk menetapkan level bantuan bagi lansia tersebut untuk perencanaan perawatan jangka panjang (Maryam dkk, 2014).
Kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologi maupun sosial, sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang (Padila, 2013).
Kemandirian pada lanjut usia dinilai dari kemampuannya untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Apakah mereka tanpa bantuan dapat bangun, mandi, ke WC, kerja ringan, olahraga, berpakaian rapi, membersihkan kamar, tempat tidur, mengunci pintu dan jendela, pergi ke pasar, potensi seksual dan lain-lain yang normal dilakukan dalam masa muda (Kemkes, 2014).
Lansia merupakan kelompok berisiko (population risk) terhadap terjadinya diabetes melitus. Population risk meliputi kelompok tertentu di komunitas atau masyarakat yang mengalami keterbatasan fisik, sosial, ekonomi, gaya hidup, dan kejadian hidup atau pengalaman hidup dapat sebagai penyebab terjadinya masalah kesehatan (Stanhope dan Lancaster, 2004).
Proses menua pada lansia dan faktor risiko lainnya akan menyebabkan terjadinya diabetes melitus. Faktor risiko terjadinya diabetes melitus pada masyarakat meliputi faktor yang dapat diubah dan faktor yang tidak dapat diubah. Faktor risiko yang dapat diubah meliputi berat badan berlebih, obesitas, gula darah tinggi, tekanan darah tinggi, kurang aktifitas atau gaya hidup dan merokok. Faktor risiko yang tidak dapat diubah yaitu usia, ras, suku bangsa, jenis kelamin, dan riwayat keluarga. Kelompok usia yang menjadi faktor risiko diabetes adalah usia lebih dari 45 tahun (Suyono, 2013).
Walaupun kemunduran fisik pada proses penuaan berjalan secara alami dan akan dialami oleh setiap orang, tetapi sebagai tenaga kesehatan khususnya perawat, tentunya harus melakukan intervensi dengan tujuan pembinaan dan pemeliharaan kesehatan pada lansia untuk meningkatkan dan memelihara kemandirian lansia dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Saat ini telah dikembangkan model keperawatan yang dikenal dengan The Activity of Daily Living yang menjelaskan bahwa tugas seorang perawat adalah membantu individu dalam meningkatkan kemandiriannya.
Keterbatasan gerak merupakan penyebab utama gangguan aktivitas hidup keseharian (Activity Of Daily Living ADL) dan IADL (ADL instrumental) (Guralnik, dkk dalam Noorkasiani & Tamher, S, 2009).
Demikian pula halnya mengurangi prevalensi penyakit kronis akan mengurangi hambatan gerak. Saat ini menurut data terbaru bahwa di Amerika Serikat gangguan ADL dan IADL semakin berkurang, yaitu antara 15-20% (Clark, 1997 dalam Noorkasiani & Tamher, S, 2009). Dalam kesempatan ini pengabdi berinisiasi untuk melakukan terobosan dalam upaya meningkatkan kualitas hidup bagi lansia melalui upaya-upaya Promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dengan berkontribusi langsung dimasyarakat melalui pengaktifan kader-kader lansia yang ada di desa atau kelurahan dalam upaya Tri Dharma Perguruan tinggi yaitu pengabdian kepada masyarakat dengan meengembangkan gerakan bangkit siap antar dan jaga lansia (GERBANG SIAGA LANSIA).
Target kegiatan ini adalah dalam setiap rumah yang memiliki lansia, memiliki jiwa GERBANG SIAGA. Gerbang SIAGA Lansia (Gerakan Bangkit Siap Antar dan Jaga Lansia) merupakan strategi dalam pembangunan kesehatan. Dalam Gerbang SIAGA Lansia, desa Tanjung Gunung dan Puskesmas Benteng berperan sebagai sahabat dan perawat bagi Lansia yang sedang menderita Penyakit Tidak Menular, dituntut untuk mampu menjaga kondisi lansia dari segi kesehatan agar mencapai kualitas hidup yang optimal serta mencegah timbulnya komplikasi penyakit. Gerbang SIAGA Lansia merupakan pelayanan kesehatan terintegrasi antara program Penyakit Tidak Menular, Pelayanan Lansia dan Prolanis.
Oleh karena itu dalam Gerbang SIAGA Lansia, melakukan kegiatan yaitu :
Gerbang (Gerakan Bangkit) yaitu sebuah upaya pelayanan preventif dan promotif untuk lansia melalui beberapa kegiatan, diantaranya: Edukasi Klub Risti (Klub Prolanis/ Program Pengelolaan Penyakit Kronis) adalah kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan dalam upaya memulihkan penyakit dan mencegah timbulnya kembali penyakit serta meningkatkan status kesehatan; Senam Prolanis adalah upaya untuk meningkatkan pemeliharaan kesehatan dan meningkatkan aktifitas fisik melalui kegiatan olah raga / senam yang dilaksanakan untuk peserta program Gerbang SIAGA Lansia. Mekanisme: Terbentuknya kelompok peserta; Terlaksananya pertemuan rutin setiap bulan; Tercapainya peningkatan motivasi peserta dalam memelihara kesehatan dan mendeteksi dini penyakit; Tersedianya wadah bagi peserta sehingga peserta akan merasa mendapatkan perhatian, pendidikan dan edukasi tentang penyakitnya serta upaya pemeliharaan kesehatan pribadinya dari risiko penyakit kronis yang dideritanya secara berkesinambungan; Pemberi materi Faskes Tingkat pertama; Dibentuk Anggota Potensial (Duta Prolanis) selaku koordinator dan pendamping bagi sesama peserta Klub. Konten materi edukasi tidak harus diabetes ataupun Hipertensi agar disesuaikan dengan kondisi kesehatan dan level pemahaman peserta serta lebih bervariatif tidak monoton. Pada kegiatan Gerbang ini juga diberikan pelatihan senam kaki.
Senam kaki merupakan latihan yang dilakukan bagi penderita DM atau bukan penderita untuk mencegah terjadinya luka dan membantu melancarkan peredaran darah bagian kaki (Subagio, 2011). Perawat sebagai salah satu tim kesehatan, selain berperan dalam memberikan edukasi kesehatan juga dapat berperan dalam membimbing penderita DM untuk melakukan senam kaki sampai dengan penderita dapat melakukan senam kaki secara mandiri (Anggriyana & Atikah, 2010 dalam Rostika dkk, 2013).
Gerakan-gerakan senam kaki ini dapat memperlancar peredaran darah dikaki, memperbaiki sirkulasi darah, memperkuat otot kaki dan mempermudah gerakan sendi kaki. Dengan demikian diharapkan kaki penderita diabetes dapat terawat dengan baik dan dapat meningkatkan kualitas hidup penderita diabetes (Anneahira, 2011 dalam Rostika dkk, 2013).
SIAGA (Siap Antar Jaga) yaitu dilakukan penjemputan pasien di desa untuk ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan Prolanis, selain itu dalam kegiatan SIAGA ini disiapkan sebuah Aplikasi Siaga lansia yang akan digunakan oleh keluarga yang memiliki lansia.Salah satu intervensinya adalah pemberian senam kaki bagi lansia.